Dian dan Hujan Sore Itu

1.5K 221 9
                                    

Rinai hujan masih setia mengguyur daerah pinggiran ibu kota sore itu, tanpa ada tanda mau berhenti. Pun juga langkah kaki Rena yang seakan tidak peduli dengan derasnya gerimis, ia tetap berjalan di bawahnya. Tercetak jelas titik-titik bekas hujan di puncak hoodie hitamnya. Namun ia masih belum mau menepi untuk meneduh sejenak. Rena suka hujan. Rena selalu ingin terus berada di bawah hujan. Kecuali hujan petir. Rena benci hujan petir. Suara cipratan air dari langkah seseorang yang menyentuh genangan air mulai mengusik telinga Rena. Panggil Rena orang paling keras kepala, paling galak, tapi Rena tetap saja takut mendengar suara langkah orang yang seakan membuntutinya.

"Plis jangan begal gue. Gue mahasiswa doang. Gue belom mau mati. Gue masih jomblo." Rena mulai berdoa dalam batinnya, berharap langkah kaki yang ia dengar hanya sekedar halusinasi belaka atau kalau memang langkah kaki orang, setidaknya orang itu memiliki niat yang baik.

"You still like rain that much huh?" suara berat seorang laki-laki serta payung yang berada di atas kepalanya berhasil membuat jantung Rena seakan melompat keluar.

"Anjing lo. Gue kira lo mau begal gue!" Rena menyemprot pria yang kini sedang berusaha menjajarkan langkah dengannya, Dian.

"Lo buntutin gue ya, Yan?" Rena mulai menginterogasi Dian.

"Fitnah teruuuus. Gue mau nugas di Matajiwa." Ucap Dian. "Lo sendiri ngapain?"

"Gue juga mau ke Matajiwa." Jawab Rena. "Mau ketemu temen."

"Satya?"

"Plis deh, Yan. Gue lagi nggak mood berantem." Mood Rena berubah 180 derajat setelah mendengar satu nama yang disebutkan Dian tadi. "Lagian kalo gue ketemunya sama Satya apa pentingnya buat lo?"

"You avoiding me." Dian tidak menjawab pertanyaan Rena. "You avoiding me for 3 months and it's driving me crazy."

Rena terdiam. Sudah 3 bulan ia menghindar dari Dian. Berusaha untuk tidak bertemu dengan Dian, padahal mereka berada di satu kampus yang sama. 3 bulan yang berat untuk Rena karena menghindari Dian adalah cara terakhir yang harus ia tempuh untuk membereskan hati dan perasaannya. Menjauh dari Dian selama 3 bulan ternyata lebih melelahkan dibanding menjadi pacar playboy kampus itu selama 9 bulan. Bentar lagi lahir, kalo kata Darryl.

Lonceng di pintu masuk Matajiwa berbunyi tatkala Dian mendorongnya perlahan, membiarkan Rena memasuki Matajiwa terlebih dahulu.

"Caramel Macchiato sama Iced Americano satu ya, mbak." Rena menyebutkan pesanannya kepada kasir. "Lo masih demen macchiato kan?"

"Mbak, iced americanonya ganti jadi iced chocolate aja." Dian tidak menjawab pertanyaan Rena, malah mengganti pesanannya. "Jangan sering-sering minum kopi. Ntar maag lo kambuh."

"Gue butuh kopi, Yan."

"It's a no. Get it?" Dian memaksakan kehendaknya.

"Terserah lo aja." Rena kemudian berjalan mencari meja yang kosong. Sayangnya hanya satu meja dan dua kursi yang tersisa disana. Dan mau tidak mau, Dian juga harus duduk disitu karena tidak ada lagi meja tersisa disana.

"Kalo lo butuh penjelasan kenapa gue ngehindarin lo 3 bulan ini, maaf Yan. Gue nggak bisa. Gue juga nggak tau alasannya." Ucap Rena tepat saat Dian duduk di hadapannya. Pundak Dian bagian sebelah kiri terlihat basah. Tanda bahwa laki-laki bertinggi badan 185 cm itu sengaja memberikan bagian payungnya lebih banyak kepada Rena.

"Gue nggak minta penjelasan lo. Kenapa bisa tiba-tiba ngambil kesimpulan?"

"Kalo nggak minta penjelasan ngapain duduk di depan gue?"

"As you can see, no seats left. Ya cuma disini yang kosong. Nggak boleh?"

"Gue mau ketemu temen gue."

"Iya, nanti kalo temen lo dateng gue balik." Dian membuka laptop dan mulai mengerjakan tugas. Sementara Rena hanya duduk dengan penuh tanda tanya.

Dari mana Dian tau dia akan ke Matajiwa? Kenapa Dian bahkan merelakan pinggir tubuhnya basah oleh hujan, padahal Reyna tau Dian sangat benci hujan? Sejak kapan Dian berubah menjadi lebih pendiam dibanding pertemuan terakhir mereka 3 bulan yang lalu? Kenapa Dian masih sebegitu perhatian dengannya yang tega memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas? Rena bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya sedari tadi.

Tanpa Rena tahu, sebenarnya Dian sengaja menyusulnya ke Matajiwa karena ia tidak sengaja mencuri dengar bahwa wanitanya itu akan pergi bersama Satya, musuh bebuyutannya. Dian sengaja menyusul Rena ke Matajiwa dengan harapan Satya tidak jadi bertemu Rena. Alasan lain, mengapa Dian menjadi lebih pendiam tidak lain karena ia butuh mengobservasi perubahan-perubahan yang terjadi pada diri Rena. Perempuan itu kini lebih banyak melamun. Seperti saat ini contohnya, Rena hanya bergerak memutar-mutar sedotan ice chocolatenya, sementara Dian sudah mengerutkan alis dan menatap laptop di depannya lekat-lekat. Rena kini suka melihat orang secara diam-diam. Rambut Rena yang dulu sebatas setengah punggung, kini ia pangkas habis menjadi sebatas bahu dan dicat warna coklat. Dian lebih suka rambut Rena dulu yang hitam dan lurus. Tapi Dian tetap menyukai Rena dulu, sekarang bahkan mungkin sampai tahun-tahun ke depan.

"Nggak usah diliatin guenya. Nggak bakal ilang juga." Ucap Dian tanpa melepaskan pandangannya dari laptop.

"Apasih lo, geer. Orang gue liat ujan." Rena menjawab kikuk. Ia ketahuan memperhatikan Dian sedari tadi. 3 bulan yang lalu, rambut Dian sudah menyentuh kerah bajunya. Sekarang, rambut Dian sudah dipotong pendek. Terlihat lebih segar dan tampan, mungkin? Itu yang ada di pikiran Rena.

[Satya Hadi]
Reeee
Sorry aku nggak jadi nemenin ke matajiwa
Mobilku mogok nih kena banjiir
Sorry bangeeet
Next time ya?

[Renata Alifiazahra]
Iyaa gapapa saaat
Santai ajaa
Take care

[Satya Hadi]
Will do!
Thanks, Re!

Rena meletakkan handphonenya kembali. Ia bersyukur karena Satya tidak jadi datang. Pertama, ia bersyukur karena berarti ia tidak perlu melihat Dian menatap benci Satya dan sebaliknya. Rena tahu betul Dian membenci Satya, begitu juga sebaliknya. Situasi semakin rumit, ketika Satya malah mendekati Rena saat statusnya masih sebagai pacar Dian, bahkan berlanjut sampai sekarang dan semakin gencar ketika Satya tahu Rena dan Dian tidak lagi berpacaran. Kedua, ia bersyukur karena berarti hari ini, Rena akan menghabiskan waktunya seharian di Matajiwa dengan Dian.

"Temen lo nggak jadi dateng?" Dian bertanya.

"Nggak jadi." Jawab Rena masih berusaha cuek.

"Trus lo mau balik?"

"Nggaklah. Masih ujan. Mau naik apa gue?"

"Santai kali, bu. Nanya doang kok gue." Rena sedikit kecewa. Ia pikir Dian akan mengantarnya pulang, ternyata Dian tetaplah Dian yang menyebalkan.

"Mobil gue lagi dipake Darryl. 5 menit lagi sampe sini, ntar gue anter balik." Ucap Dian, seakan mengerti apa yang dipikirkan Rena.

"Nggak usah. Banjir daerah rumah gue. Juki nggak bakal kuat."

"Juki lagi di bengkel. Fortuna hari ini yang bakal nganterin lo pulang."

"As expected, rich boys." Ucap Rena.

Benar saja, 5 menit kemudian pintu Matajiwa terbuka dan menampilkan seorang laki-laki dengan jaket jeans kesayangannya dan cengiran lebarnya berjalan ke arah Dian.

"CIAAAAAA katanya sendirian lo di sini?? Ada mbak pacar toh??" ledek Darryl setelah melihat Rena duduk di seberang Dian.

"Bacot lo. Yasmin udah sembuh?"

"Yasmin sakit, ryl???"

"Udah mendingan. Iya kemaren kena thypus, Re." Jawab Darryl dan dengan kurang ajar menyesap caramel macchiato Dian.

"Sono balik. Udah ditungguin mas Yoga di depan."

"Iye iyeee yang mau pac—ADADADAAAAWW" Darryl berteriak tatkala Rena mencubit lengannya kuat-kuat. "Galak bener lo! Heran gue kenapa sahabat gue mau sama cewek galak kayak lo!"

Dian memelototi Darryl setelah mendengar apa yang diucapkan teman satu kosannya itu.

"Udah ah gue balik dulu. Dadah Rere cantiiik!"

"HEEEHH" Dian berteriak, posesif.

(to be continued)

Kosan Babeh (ON HOLD)Where stories live. Discover now