3

18 6 0
                                    

Aku menengok ke arahnya, "iya, hehe." jawabku sambil terkekeh.

"Ooh, boleh minta tolong gak?" tanya Rey menatapku.

"Apa?" tanyaku balik.

"Bisa temani dan bantu aku mengambil beberapa barang di laboratorium?" pintanya, "kalau tidak mau juga tak apa."

Aku berpikir sejenak. Aku ragu, tapi akhirnya aku menyetujui permintaan tolongnya.

"Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya?"
Aku tersenyum, sementara Rei hanya mengangguk.

Aku dan Rei berjalan ke arah ruang laboratorium. Yang lebih populer disebut lab IPA di sekolahku. Kami masuk ke dalam laboratorium, Rei menyalakan lampu agar barang yang dia cari dapat segera ditemukan. Rei menatap ke arahku sambil tersenyum lebar. Kemudian aku menghampirinya, berniat untuk membantunya menemukan barang yang dia cari.

Aku membuka sebuah laci kecil, dan tiba-tiba ketika aku membalikkan badanku, Rei ada di hadapanku. Tepat di depan wajahku. Aku terkaget melihatnya, namun sepertinya barang yang dia cari sudah ditemukan. Tapi, secara tiba-tiba Rei semakin dekat dengan tubuhku, aku berkeringat ketakutan, memikirkan apa yang sebenarnya yang akan dia lakukan. Setelah tiga menit Rei terus berdiri di hadapanku, Rei memundurkan badannya kembali.

"Ini yang ke-15 kalinya. Kamu mau jadi pacarku?" tanya Rei membuatku membisu kembali.

"Mmm-" ucapanku terpotong, karena tangannya menyekap mulutku. Lalu Rei menatapku sambil tersenyum. Kemudian melepaskan kembali bekapannya.

"Maaf Rei, aku tidak suka padamu," Aku menatapnya, "maaf."

Rei tampak kesal, dia mengepalkan tangannya erat. Lalu mendekati tubuhnya ke arahku. Sungguh, aku gemetar ketakutan. Keringatku bercucuran di mana-mana. Sementara Rei semakin mendekat.

"Lu harus jadi pacar gua!"

Aku berteriak berusaha meminta pertolongan, hingga akhirnya ada seseorang yang terdengar seperti sedang menggebrak pintu laboratorium. Rei menatap ke arah pintu dengan tatapan penuh amarah. Dan tak lama kemudian, Salt memukulinya habis-habisan, tak mau kalah Rei membalas pukulannya. Aku berteriak, aku bingung apa yang seharusnya aku lakukan.

Reflex aku berlindung di belakang Salt kemudian memeluknya erat. Tetes demi tetes air mataku berjatuhan, aku ketakutan. Lalu aku tersadar, aku langsung melepaskan pelukanku dari tubuh Salt. Beruntungnya, salah satu guru akhirnya datang ke laboratorium itu setelah mendengar suara bising. Kami dibawa ke ruang BK untuk dipertanyakan.

Syukurlah, nasib baik berpihak padaku dan juga Salt. Rei terkena hukuman selama 45 hari tidak boleh hadir dalam kegiatan belajar mengajar. Jika dia tidak menyetujuinya, terpaksa dia akan dikeluarkan dari sekolah. Setelah keputusan itu telah disepakati, aku dan Salt boleh keluar dari ruangan itu. Setelah itu, aku dan Salt berbincang-bincang sebentar.

11.00 WIB.

Para siswa sudah diperbolehkan untuk pulang. Aku melihat Salt sedang berjalan di sekitar taman. Lalu, aku menghampirinya serta menyapanya.

"Kak," panggilku sambil berdiri di belakangnya.

"Hem?" tanya Salt lalu memutar tubuhnya menghadap ke belakang, "eh Jel. Besok jadi, ya?"

"Iya, aku usahakan." jawabku tersenyum padanya.

Aku berjalan meninggalkannya, kemudian melambaikan tanganku ke arahnya. Setelahnya, aku dan teman-temanku berusaha memberhentikan angkot yang sedang berlalu lalang di jalan raya tepat di depan sekolah kami. Akhirnya salah satu angkot berhenti mengikuti lambaianku. Aku dan kedua temanku menaiki angkot yang cukup ramai itu. Jarak rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh, sehingga belum beberapa menit aku menaiki angkot, aku sudah sampai di rumahku.

Aku melemparkan tasku secara sembarangan, aku kelelahan karena terlalu lama bermain basket. Ya, aku memilih ekskul basket. Jam masih menunjukkan pukul 11.30 WIB, aku merasa lapar, untunglah ada seorang penjual mie ayam/bakso keliling yang sedang berjualan di sekitar rumahku. Aku keluar ketika mendengar suara ketukannya yang tak asing lagi. Lalu ku memesan semangkuk mie ayam bakso.

"Bang, mie ayam baksonya satu ya." ucapku seraya mengambil beberapa lembar uang dalam sakuku.

"Sebentar ya." jawab Dodi—penjual mie ayam/bakso. Semetara aku hanya mengangguk kecil.

Dodi memasukkan beberapa bumbu ke dalam mangkuk yang bergambar seekor ayam dengan lapisan plastik putih. Setelah itu, dia memasukkan mie yang sudah direbusnya itu ke dalam mangkuk yang sudah diberi bumbu. Tak lupa dia memasukkan saos ke bagian atas mie. Pesananku siap, aku memberinya beberapa lembar uang, tepatnya Rp13.000,00. Kemudian, aku pulang ke rumahku untung memakan mie ayam yang sudah kebeli.

Aku mengambil mangkuk yang berukuran sedang di rak dekat pencuci piring. Tak lupa kuambil sendok dan garpu untuk alat memakannya. Aku membawa mie ayam itu ke ruang tamu sambil menonton acara televisi. Setelah memakan mie ayam itu cukup lama, akhirnya habis pula. Kudengar, ponselku berdering pertanda ada panggilan yang masuk. Aku mengambilnya, lalu mengangkat panggilan dari orang yang menelfonku.

'Kak Salt?' tanyaku dalam hati.

"Hai, lagi apa?" sapanya padaku.

"Nelfon."

"Habis ngapain?"

"Makan."

"Besok jadi, ya?"

"InsyaAllah."

"Malam ini, kamu ke mana?"

"Gak ke mana-mana."

"Jalan yuk!"

"… Ke mana?"

"Keliling-keliling aja, pasti ramai, kan malam Minggu."

"Boleh deh, jam berapa?"

"Jam tujuh aku jemput."

"Memangnya kamu benar-benar sudah tahu rumahku."

"Tahu kok, sudah dulu deh. Aku mau lanjut ngerjain tugas buat presentasi."

"Iya."

Aku menutup ponselku kembali lalu menaruhnya di meja—samping tempat tidurku. Aku memutuskan untuk tidur sejenak, karena merasa sangat kelelahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love GrayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang