34. Panglima Buronan

Mulai dari awal
                                    

"Itukah keputusan Sri Baginda?" bertanya Jayengrono.  

"Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan  

perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan  

hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu....."  

"Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir  

sekali akhir-akhir ini Sri Baginda....."  

"Hemmmm..... Apa maksudmu Raden Mas?"  

"Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara  

diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan.  

Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud  

menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas- 

ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita  

tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam....."  

"Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak....."  

"Saya harapkan begitu," kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima  

Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.  

Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari  

Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata "Ada  

rombongan datang....."  

Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan  

memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan  

orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di  

sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki  

berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono,  

Panglima Balatentara Kerajaan.  

"Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat  

busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita....."  

"Menangkap kita?!" kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.  

"Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!"  

"Tapi apa salah kita?!" tukas sang puteri dengan mata membelalak.  

Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono  

kemarin, lalu menjawab "Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan  

seribu satu kesalahan pada diri kita....."  

"Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau  

adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!"  

"Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut  

WIRO SABLENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang