Number 7: one

Mulai dari awal
                                    

"Lho? Kenapa kau tak memakai seragam olah ragamu Habibi?" Evan bingung harus menjawab apa.

"Anu..itu.."

"Apa kau akan membolos dari pelajaran saya?" Evan cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak pak guru, saya tadi kelupaan membawa seragam saya karena saya berangkat terlambat. Saya minta maaf pak." Ucap Evan dengan nada menyesal.

Pak Sodik yang melihat murid terrajinnya yang untuk pertama kalinya tak membawa seragam olah raga itu memakluminya. "Baiklah. Tapi jangan lupa kerjakan LKS pada bagian olahraga Voli. Dan kumpulkan di meja bapak sebelum pulang sekolah."

Evan senang mendengar perkataan gurunya tersebut. Dia mengangguk dan pamit untuk mengerjakan tugasnya. Setelah di perbolehkan Evan melangkah dengan riang menuju kelasnya.

Tapi langkahnya terhenti saat indra pendengarnya menangkap suara berisik dari para kaum hawa. Evan sebenarnya tanpa membalikkan badanpun tau, apa penyebab suara teriakkan berisik itu. Kalau bukan karena kelompok dari King yang lewat apa lagi? kini perasaannya semakin takut saat dirinya melihat Ardirex yang berjalan cuek di tengah-tengah kerumunan anak cewek yang ingin sekali mendekatinya. Cepat-cepat Evan melarikan diri dari tempatnya.

Sayang sebelum niatnya terlaksana ada sebuat tangan yang mencekalnya untuk tidak membuatnya kabur dari tempatnya.

"Mau ke mana lo? Berani sekali lo kabur dari tanggung jawab lo?" Evan meneguk air ludahnya dengan susah payah. Tatapan tajam Ardirex begitu menusuk indra penglihatannya. Evan mencoba menundukkan wajahnya karena dia takut dengan tatapan Ardirex.

"Siapa?" ucap Kell saat melihat temannya itu sedang mencegat...seorang adik kelas?

"Cowok itu yang membuat Rex dalam mood yang buruk hari ini." Satria mendengus ketika melihat anak lelaki yang tengah menunduk di hadapan Rex. Yakin 100% Rex akan mengamuk saat melihat itu. Dan ya, benar saja temannya-Rex- dengan tidak memiliki hati melempar pria bertubuh kecil itu kearah samping, hingga membentur kursi yang terdapat di koridor itu.

Satria sempat meringis saat dirinya melihat pria kecil itu meringis sambil memegang punggungnya.

"Berani sekali lo menundukkan kepala lo di hadapan gue! Memang lo siapa? Sampai berani-beraninya mengabaikan gue?!" ucap Rex dengan tajam pada Evan. Dia sudah muak dengan tingkah adik kelas kurang ajar itu. Beraninya dia bertingkah tidak sopan.

"Ma-maaf...kak. aku..aku minta..maaf."

"Minta maaf gak bakal buat gue kenyang! Sekarang lo musti tanggung jawab karena buat mobil kesayangan gue penyok. Gue gak peduli lo dpaat uang dari mana. Yang penting body mobil gue harus kembali seperti semula." Inilah yang Evan takutkan. Dia tak memiliki banyak uang untuk mengganti biaya perbaikan mobil mewah milik Ardirex. Memikirkan bahwa ibunya yang tidak tau apa-apa, harus menanggung biaya perbaikan yang mungkin menjadi gaji 3 bulan ibunya, sudah membuat tubuhnya lemas dan bergetar hebat.

Ibunya berusaha bekerja seorang diri demi menghidupi dirinya dan ibunya sendiri. Itu sangat mustahil bila Evan meminta uang pada ibunya. "Kenapa lo diam? Lo punya mulut kan? Atau mulut lo hanya pajangan? Atau lo orang miskin? Makanya nggak bisa bayar?" ucap Rex semakin tajam. Karena pria di hadapannya sama sekali tak menjawab.

"Gue gak mau tau masalah lo. Yang gue tau minggu depan mobil gue harus kembali seperti sedia kala. Atau gue akan beri lo pelajaran!"

Tubuh Evan kian bergetar ketika dia mendengar masa tenggat waktu yang di berikan Ardirex padanya. Dia menggeleng pelan dengan wajahnya yang pucat. Ibunya akan dapat serangan jantung bila dia mengetahui kejadian ini. "A..aku..aku minta maaf, kak...aku..gak ada uang.." suara Evan bagaikan cicitan seekor tikus. Dia tak tau lagi harus bagaimana.

Number 7 (Yaoi) (BxB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang