Kebangkitan Dari Kematian

73 5 11
                                    

Dinginnya pagi yang menusuk, dan sinar matahari yang mencoba mengganggu mimpi buruk ku. Tubuhku telanjang meringkuk di balik selimut, masih terbayang tentang mimpi buruk tak berbentuk yang menerorku semalam. Iblis succubus yang muncul dalam bentuk halusinasi, tertawa terkekeh di sudut ruangan. Sepasang mata hitam legam itu seolah membayangkan dirinya sedang menyiksaku dalam mimpi semalam, lalu perlahan sosoknya menghilang dalam kegelapan.

Dalam kegelapan aku berpakaian, mengenakan kaus dan celana pendek lalu membuka korden kamar untuk membiarkan cahaya matahari masuk, kubuka pintu kamar agar angin pagi sudi membersihkan hantu-hantu yang semalam datang karena mengira kamarku adalah kuburan. Kusandarkan tubuhku di bibir kamar, menyalakan sepuntung rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.

Kepulan asap langsung tersapu oleh dinginnya angin pagi, menerbangkan angan-anganku dan menyadarkanku pada kenyataan hidup yang harus kuhadapi lagi hari ini. Dalam dinginnya pagi itu aku bertanya pada Tuhan yang tak kuketahui keberadaannya, sembari menghisap asap rokok terakhir lalu menanyakan :

"Masih haruskah aku hidup hari ini?"

Detik berganti menit, kutinggalkan kamar berantakanku lalu berjalan menuju kamar mandi di lantai satu. Seorang gadis kecil keluar dari kamar mandi, menatapku malu-malu dalam balutan handuk lalu segera lari menuju kamarnya sambil memanggil ibunya. Sepasang matanya yang bulat polos begitu melekat pada ingatanku, seolah aku merindukan sepasang mata itu yang belum ternodai oleh kejamnya dunia ini. Mata anak-anak yang dengan kepolosannya akan mengingatkanmu akan dosa-dosa yang pernah kau lakukan pada dunia. Dan bagiku, sepasang mata itu begitu menghantuiku.

Dinginnya air menyentuh tubuh telanjangku, kubasuh seluruh bagian tubuhku seolah menyucikan mereka dari dosa. Meskipun aku tahu, pendosa sepertiku takkan pernah bisa menyucikan diri meski bersuci dengan sungai gangga ataupun air zam-zam. Menatap pantulan bayanganku pada cermin yang tergantung di dinding, mengingatkanku akan sosok yang paling kubenci dan paling kuharapkan kematiannya. Tapi dia juga adalah sosok yang paling kucinta dan kuharapkan kebahagiaannya. Kupalingkan wajahku dari cermin, lalu kutinggalkan kamar mandi cepat-cepat sebelum waktu menghancurkan apa yang kini kumiliki.

Terik matahari di atas kepala, jalanan yang macet akan manusia-manusia egois dengan kesibukkan dalam diri mereka. Sementara aku di tengah-tengah mereka, menghabiskan waktu nyaris lima jam hanya untuk membakar bumi dan menghitamkan kulit tubuhku. Menjalani keseharian yang berulang membuatku merasa berada dalam permainan dengan Tuhan yang tak bosan-bosannya bermain, melipat waktu untuk melihat apakah yang akan kulakukan saat aku terlambat masuk kelas.

Matahari yang membumbung tinggi, dan angka-angka pada telepon genggam yang mengkhianati. Aku sepertinya terlalu percaya pada teknologi sampai-sampai melupakan kenyataan bahwa mereka tak ubahnya benda mati. Hari ini diantara 350 hari dalam setahun, untuk pertama kalinya telepon genggamku menunjukkan angka yang berbeda dengan angka-angka yang berdetak sampa di setiap jam khayal di telepon genggam setiap manusia yang berada di zona waktu UTC+7. Aku mematung di depan pintu kelas yang tertutup setelah mendapatkan tolakan halus untuk masuk ke dalam kelas, lalu dengan senyuman getir kuseret tubuhku dari pintu kelas lalu duduk di salah satu sudut lorong sambil melihat dunia maya dalam genggamanku.

Sayup-sayup suara terdengar dari tangga, berikut dengan sosok-sosok yang familiar pada ingatanku. Kuterima ajakan teman-temanku untuk duduk bercengkerama pada rumah makan tua di belakang kampus, menghisap rokok bersama dan memakan gorengan. Membicarakan omong kosong, sampai hal-hal sederhana pada hidup. Sekali lagi aku tenggelam dalam pembicaraan, sementara itu diriku yang lain menatapku dari kejauhan.
Waktu seakan berhenti, dan aku terbangun pada khayal pikiranku, menemui Tuhan lalu bertanya :

"Kapan aku akan mati?"

Morte : Memoar KematianWhere stories live. Discover now