Sarjana Pulang Kampung

Start from the beginning
                                    

Lama kelamaan, warungku makin ramai didatangi perempuan paruh baya yang mau belajar baca tulis. Sehingga kelas baca tulis pun berpindah ke halaman warung.

Tanpa sengaja Pak Kades melewati warung pertanianku, dia mampir dan menyapaku. "Wah, sekarang buka privat baca tulis juga Nak Rohim?"

Aku tertawa. "Tidak Pak Kades. Ini kelas gratis. Siapapun boleh belajar baca tulis di sini."

Pak Kades menepuk bahuku. "Bagus Nak Rohim."

Besoknya, tidak lagi ibu-ibu yang mendatangi warungku, tetapi bapak-bapak juga. Mereka ingin ikut belajar membaca dan menulis sesuai pengarahan pak Kades. Walaupun tidak tiap hari, karena mereka harus berladang, tetapi mereka tetap ingin belajar.

Tanpa kusadari, berjalannya waktu, warungku semakin dipadati pengunjung. Dari yang ingin belajar baca tulis hingga berbelanja ke warung. kegiatan belajar pun makin meningkat, tidak hanya baca tulis, tetapi aku juga memberikan penyuluhan pertanian. Kupikir dengan melakukan hal tersebut maka secara tidak langsung aku mempromosikan barang-barang yang kujual.

Tetapi, tanpa kuduga, sore itu Pak Ujang, pegawai kantor desa datang berkunjung ke warungku.

"Apa kabar, Him? Semakin sukses saja jualanmu."

"Alhamdulillah, Pak Ujang."

"Berarti cukup modalmu buat maju nyalon kades tahun depan?"

Aku terbatuk mendengar penuturan Pak Ujang.

"Wah, saya ga ngerti politik, Pak Ujang."

"Hampir separuh warga desa kita mengumpul di warungmu setiap hari. Pasti kamu punya peluang untuk dipilih, Him. Kita butuh generasi muda yang agresif, inovatif, dan kreatif, biar desa kita maju. Alhamdulillah, semenjak kamu pulang dari kota, mengajar bapak-bapak dan ibu-ibu di sini baca tulis, angka buta huruf di desa kita drastis menurun."

Aku langsung mengangkat tangan sambil tertawa. "Pak Ujang kayaknya obrolan kita ketinggian deh. Saya ga ngerti calon-mencalon begitu. Saya cuma begini ini, Pak."

"Tapikan kamu sarjana. Di desa kita ini, sedikit sekali sarjana. Apalagi sarjana macam kamu."

"Memang saya sarjana macam apa?"

"Idolanya ibu-ibu desa ini. Kata Mak Menah, setiap emak di kampung ini sedang menunggu Nak Rohim melamar anak gadis mereka."

Aku semakin keras tertawa.

"Kamu itu sudah memegang suara paling penting. Suara ibu-ibu. Sekali mereka berkata akan memilih kamu. Pasti mereka tidak akan berdusta. Bayangkan saja Nak Rohim. Jumlah Perempuan dan laki-laki di kampung kita ini seimbang. Sementara kamu sudah menggenggam erat suara perempuan."

Aku tak dapat menanggapi dengan kata-kata. Kudengar suara tawaku terus membahana.

"Ah, saya tidak mau maju jadi Kades, Pak Ujang. Saya mau maju jadi anggota dewan di kabupaten saja..." kelakarku di penghujung pembicaraan kami.

Tapi ternyata itu malapetaka. Pak Kades yang kini mendatangi warungku. "Wah, semakin sukses saja ya, Nak Rohim. Apalagi dengar Bapak, Nak Rohim mau nyalon DPRD..."

Aku menepuk jidat.

"Ah, tidak benar itu Pak Kades. Saya cuma berkelakar dengan Pak Ujang. Saya ingin jadi petani yang profesional saja, Pak. Seperti Bob Sadino. Pengusaha di bidang pertanian dan peternakan."

"Bagus juga kalau bisa terjun ke politik."

Aku bersikap seperti biasa, tertawa.

"Tidak, Pak Kades. Biarlah saya fokus di bidang saya saja. Biar orang yang lebih kompeten di politik yang terjun ke dunia calon mencalon itu."

"Eh, salah kalau kamu pikir begitu. Yang mencalon jadi Kades, anggota dewan bahkan bupati itu harus orang yang memiliki visi dan misi. Bukan sekedar kompeten sebagai politisi."

"Maaf, Pak Kades. Saya sama sekali ga ngerti yang namanya politik. Saya tidak akan tertarik."

Pak Kades cukup lama di warungku. Hampir matahari tergelincir dia baru pamit.

Beberapa hari kemudian sebelum warga datang belajar, Pak Marto Pengurus ranting partai datang mengunjungiku. Lelaki berpenampilan nyentrik itu menepuk-nepuk bahuku dan menyalamiku dengan begitu erat.

"Nak Rohim, kamu memang pantas dikaderkan. Kamu itu pemuda yang punya nilai untuk diperjuangkan. Kami siap memberikan kamu perahu kalau kamu bersedia."

Aku tersenyum.

"Bagaimana, kamu pasti tertarik?"

Aku menutupi kekikukanku dengan tertawa, "Sepertinya Pak Marto terlalu tinggi menilai saya. Saya ga ada apa-apanya, Pak. Bagaimana Bapak bisa begitu yakin menawarkan kepada saya. Lagi pula saya merasa tidak punya kemampuan di bidang politik."

Pak Marto gantian tertawa, "Itu gampang. Semua bisa dipelajari."

"Tapi, maaf Pak Marto, Saya belum kepikiran untuk ke sana."

"Kamu menolak?"

"Untuk saat ini, belum dulu Pak Marto."

"Lalu, buat apa kamu buka les gratis baca tulis?"

"Ya, karena Mak Menah dan kawan-kawan beliau yang meminta."

"Lalu?"


"Ya, itu. Karena permintaan mereka."

"Keuntungannya buat kamu?"

"Mereka membantu saya di warung."

"Waduh, Nak Rohim. Suara mereka itu sangat berharga. Kamu harus memanfaatkan peluang itu. Untuk kemajuan desa ini. Kalau ga pemuda macam kamu, siapa lagi yang akan memajukan desa kita?"

"Mungkin saya melalui jalur yang berbeda saja, Pak Marto. Insyaallah, melalui wirausaha, saya akan berusaha memajukan desa."

"Walah, kamu salah,..."

"Maaf kalau saya salah, tapi saya lebih baik mengeluti bidang yang saya pahami dulu sebelum saya memasuki bidang lain yang sama sekali tidak saya tahu. Saya sarjana pertanian, Pak Marto. Saya rasa ilmu saya lebih berguna apabila bersentuhan langsung dengan soal cocok-bercocok tanam dengan warga."

Pak Marto mengatup mulutnya sambil mengangguk-angguk.

"Baiklah, Nak Rohim. Kamu hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kalau kamu tertarik, tentu kamu tahu dimana harus mendatangi saya?"

Aku mengangguk. Pak Marto pamitan ketika melihat rombongan Mak Menah dan ibu-ibu lain mulai mendatangi warungku. Pak Marto melangkah meninggalkan warung dengan jeep merahnya.

Mak Menah menepuk bahuku. Wajahnya tampak cemas, "Jadi nyalon, Him?"

Aku mengerutkan kening. "Nyukur rambut di salon?"

"Nggak, yang pasang baleho gede-gede itu. Pake dasi. terus ada tulisannya, Coblos..."

Aku menggeleng.

"Oh, syukurlah." Mak Menah mengelus dadanya.

"Boy sudah bisa membaca, Him. Cuma masih belum fasih menulis." cerita Mak Menah lagi.

"Oh, bagus kalau begitu."

"Siti juga sudah bisa membaca dan menulis, Him. Emak sendiri yang mengajarnya." celetuk Mak Timah tidak mau kalah. Senyum mengembang penuh kebanggaan. Mak Menah hanya mencibir.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

"Ya, sudah... Dibuka lagi bukunya. Halaman berapa lagi pelajaran kita hari ini?"

"Wah, bukunya ga pakai halaman, Him..." celetuk Ibu yang lain.

"Wah, ada kok." sahut ibu di belakangnya.

"Buku apa toh?" tanya Mak Sargawi.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

(Selesai)

Sarjana Pulang Kampung sudah dipublikasikan di http://ceritagopek.blogspot.co.id/2017/10/sarjana-pulang-kampung.html

Politikus KakusWhere stories live. Discover now