[2]

3.4K 179 10
                                    

2009 – Visi Dan Misi Si Lemah


Sekolah berjalan seperti biasa, tidak ada yang spesial. Dan datanglah saat OSIS membuka pendaftaran untuk menjadi anggotanya. Seperti biasa Tari dan Gibran memaksaku lagi-lagi. Mau tidak mau aku mengiyakan paksaan mereka untuk mengisi formulir pendaftaran. Sebenarnya tidak ada yang kukhawatirkan dari sana toh OSIS adalah organisasi yang bagus untuk mengisi kekosongan giatku. Tetapi, aku baru tau hari setelahnya kalau di OSIS ada senior galak yang menjadi rivalku di hari pertama latihan Paskib. Ya ampun, itu hal yang mengkhawatirkan.

"Kenapa nggak bilang sih Gi kalo ada dia. Tau gitu kan.." aku menggantung kalimatku. Sebenarnya aku jarang menghiraukan orang-orang rese di sekitarku. Tapi kalau dengan abang itu jadi lain rasanya. Bisa-bisanya aku diejek lemah! Jadi terbayang terus-menerus ejekannya.

"Kenapa? Masa karna ada bang Tio lo mau mundur sih? Dia baik gitu kok orangnya."

Yang benar saja abang itu baik. Baik darimananya?

"Serius lagi Gi dia baik. Sama aku mana ada. Senyum pun dia nggak pernah."

Gibran tertawa mendengar keluhanku. Saat ini aku duduk di kelas berdua dengannya. Tari sedang membeli jajan di kantin dan aku memutuskan untuk menunggunya di kelas. Kebetulan Gibran datang dan membahas rencanaku mencalonkan diri di Osis.

"Iya sih kok gue liat-liat dia lain ya sama lo. Jadi kaya garang gitu. Sama gue dan yang lain sih garang ya garang, berwibawa gitu. Nah kalo sama lo—"

"Ah udah udah. Jadi bahas dia deh." seruku memotong.

"Udah anggep aja itu ujian biar mental lo makin bagus By. Gue udah masukin formulir pendaftaran yang lo isi kemarin." balas Gibran.

"Iya Gi aku juga udah belajar banyak untuk seleksi nanti kok."

"Bagus deh. Ntar jangan lupa dateng latihan Paskib kaya biasa ya jam 3? Gue mau makan dulu di kantin."

Setelah Gibran pamit, Tari kembali dari kantin dengan membawa jajan titipanku.

"Gimana? Ada semangat nggak dari Gibran? Dia 'kan suka memotivasi orang, By." tanya Tari.

"Kayanya dia bakat sih jadi motivator. Tapi tetep aja kepikiran sama abang galak itu."

Tari membulatkan matanya khawatir, "Yaudah! Yaudah! Jangan bahas Osis lagi ya nanti kamu kepikiran dan malah berubah pikiran. Tenang, tenang.."

Aku tersenyum geli melihatnya, "Kenapa jadi kamu yang khawatir?"

"Soalnya kamu untuk temen Kenisha di Osis. Nanti dia sedih kalo kamu berubah pikiran,lho." jawab Tari.

"Tari, Tari, pikirin aku juga dong. Aku 'kan takut banget. Gimana kalo aku nanti dibentak-bentak lagi sama dia? Nyeremin tau."

Hari-hari berlalu dengan bahasan yang sama—ketakutanku dengan abang itu. Tapi, makin hari aku makin terbiasa dengan bentakannya dan julukannya untukku 'Si Lemah'.

Sampailah hari dimana para kandidat Osis akan menghadapi para senior yang akan menanyai kami dengan banyak pertanyaan. Jadi hari itu tersisa 9 orang yang akan diseleksi untuk jabatan Ketua Osis dan sisanya untuk jabatan lainnya. Aku nggak menyangka bisa masuk 9 besar. Padahal niat pun nggak. Malahan biasa saja. Dan ini adalah saat-saat yang aku takuti karena aku akan bertemu dengan abang galak itu. Sebab dia adalah Waketos yang sudah pasti nanti akan memberondongiku dengan banyak pertanyaan. Semoga dia nggak akan membentakku sebanyak di Paskib. Aku mohon tuhan..

"Kalian bertiga. Masuk. Giliran kalian sekarang."

Kak Raga—sekretaris Osis menyuruh kami masuk. Kami masuk 3 orang 3 orang ke dalam ruangan. Di dalam sudah ada 9 senior yang masih menjabat di Osis. Dan sesuai dugaanku, ada bang Tio di dalam yang sedang berdiri mengibas-ngibaskan baju seragamnya di depan pendingin ruangan.

Dia menatapku kaget. Kak Raga berbicara kecil di sampingnya yang sempat kudengar, "Naha yo mukanya jadi begitu?"

Bang Tio menjawab dengan pandangan tak lepas menatapku, "Antos, serius ini junior nyalon? Kaya nggak ada junior lain aja."

Dia membicarakanku lagi. Kenapa sih? Aku jadi merasa seperti memiliki musuh sekarang.

"Lo? Hei yang di pojok?" Senior perempuan memanggilku yang sibuk menatap kosong ke pojok ruangan.

"Ya sen?" jawabku kaget.

"Kalo mau bengong di luar aja. Ngapain masuk kesini cuma bengong aja?"

Bodohnya aku. "Iya siap salah sen."

Setelah itu kami satu persatu ditanya visi dan misi kami. Dan aku menjawab dengan sangat basic. Sebenarnya aku sudah penuh persiapan. Tapi memang karena tidak niat itu tadi jadinya kubikin saja visi dan misi yang biasa.

"Byanca? Yang mana Byanca?" tanya kak Raga.

"Saya sen." Aku maju satu langkah dari barisan.

"Oh yaudah silahkan." Kak Raga mempersilahkanku menyebutkan visi dan misi untuk menjadi anggota Osis.

"Siap. Visi saya adalah menjadikan Teladan unggul dalam prestasi beriman, bertakwa dan berwawasan lingkungan hidup.."

Kutarik napasku dalam-dalam dengan rasa takut kulanjutkan kalimatku, "..misi saya adalah membuat Osis menjadi lebih baik untuk panutan—"

"Udah udah, mundur kamu." Bang Tio kali ini mengomandoku untuk mundur sebelum misi yang kubuat selesai kuucapkan. Baru awal sudah seenaknya saja dia.

"Kenapa, Yo? Belum selesai dia." tanya kak Raga. Kak Raga yang temannya saja heran kenapa abang itu seenaknya saja denganku.

"Males ah denger yang basic-basic." jawab bang Tio sekenanya.

Oke, oke, mungkin salahku juga yang membuat itu semua basic dan tidak dengan istimewa. Aku nggak menghiraukan perkataannya. Senior 'kan memang selalu benar.

"Yaudah kalian udah boleh keluar." perintah kak Raga. Setelah megucap terima kasih kami bertiga melangkah keluar.

Sebelum aku melangkahkan kaki lebih jauh, suara seseorang mengagetkanku, "Buat visi misi mah yang bagus yang istimewa biar orang yakin sama kamu. Visi dan misi anak lemah ini malah biasa aja. Gimana sih kamu!"

Sebelum-sebelumnya, setiap mendengar logat sunda aku senang sekali karena ada makna lembut terkandung di dalamnya. Tetapi manusia yang satu ini ... ya ampun. Jauh sekali dari ciri khas orang Bandung.

Kenapa sih dia galak sekali denganku???? Memangnya aku pernah berbuat salah apa dengannya?

Kutundukkan kepala dan berlalu begitu saja. Rasanya aku ingin mengumpat sebanyak mungkin. Awas saja abang itu![]

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now