II

140 7 1
                                    

Kevan

"Iya, Dok."

"Baik, Dok."

Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut gue ketika mendengar ocehan dari dokter konsulen spesialis anak pagi itu. Bisa lo tebak, gue telat. Telat sejam lagi! Gue bahkan belum follow up pasien yang seharusnya gue lakukan jam 6 pagi tadi. Eh seenggaknya laporan gue selesai, dan gue bisa report ke konsulennya langsung.

"Lo abis kena semprot Dokter Gery?" celetuk Tyas dari balik pintu kamar koas. Gue hanya mendengus sebal. Tyas ketawa ngakak.

"Ya abisnya... jam 8 baru dateng."

"Ketiduran gue, abis shubuhan tadi," kata gue alasan. Iya emang, gue ketiduran abis sholat shubuh sih. Gue baru ngelarin tuh laporan keparat jam 2 pagi dan gue ngantuk berat. Mana di apartemennya Acha nggak ada cadangan kafein lagi! Gue nggak tahu gimana caranya tuh anak bisa betah begadang karena kerjaan, kalau nggak menadapat asupan kafein.

"Gue duluan, ya Van. Mau tidur nyenyak di kos," kata Tyas dengan senyum jumawa. Gue cuma melirik sebal diiringi dengan senyum menggodanya Tyas.

Hari-hari gue nggak selamanya buruk sih menjalani koas gini, tapi, kadang ada aja bad day nggak jelas. Iya contohnya gini ini. Dan gue selalu memikirkan hari-hari sulit ini dengan membayangkan Acha. Eh lebih tepatnya omongan Acha ke gue.

"Lo itu kuat, Van. Ini udah pilihan lo dan lo harus nyelesain semuanya."

Haha... gue pikir dia itu cuma bisa ngomong dan nggak pernah ngerasain penderitaan gue selama ini. Tapi, ada benarnya sih. Dunia gue sama dunianya nggak ada bedanya, kami melalui tantangan yang nggak mudah. Jadi, gue akan menarik perkataan gue itu.

iPhone gue bergetar, menandakan message masuk. Acha. Gue tahu dari ringtone iPhone gue yang bergetar itu pasti dari Acha.

Van, di mana?

Dia masih tanya gitu? Ya di rumah sakit lah! Di mana lagi.

Di RS

Gue mengetik singkat dan meletakkan iPhone gue di meja lalu membaca berkas pasien yang tergeletak di meja pos penjagaan.

"Nih!" gue ber-eh pelan. Lah? Ini makhluk kenapa tiba-tiba ke sini?

"Lo ngapain di sini?" bisik gue pelan, takut perawat di pos penjagaan merasa terganggu.

Acha menyerahkan kunci mobil gue dan jaket almamater. Gue langsung mengerjap tidak percaya. Bego! Harusnya tadi barang bukti di apartemennya gue hapus dengan bersih, jadi, dia nggak bakal curiga gue nginep di apartemennya. Dan lagi, gue emang ninggal mobil gue di basement, karena kelupaan saking buru-burunya gue ke rumah sakit.

"Lo ninggalin ini di sofa gue," kata Acha datar tanpa ekspresinya itu.

Gue berusaha nggak terlalu kentara di depannya. "Oh iya... gue nganterin elo kemarin malem yak. Lupa sama jaket gue hehe," kata gue tenang, padahal gue yakin suara gue nggak meyakinkan sama sekali.

Acha menyunggingkan senyum tipisnya. "Padahal gue yakin banget elo kemarin nggak minta ditemenin," ucap Acha lirih membuat dadaku mencelos.

Kalau ditanya gue pernah nginep di apartemennya Acha berapa kali, gue bakal jawab dua kali. Pertama saat gue lagi bantuin dia pindahan dan kedua kemarin malam itu. Padahal asli, gue cuma nggak enak aja sama Acha. Gue takut sikap gue menghindari Acha bakal kentara. Oh iya, dan jika kalian berpikir gue selalu nginep di apartemennya karena dia sahabat gue, jawabannya enggak. Selain ketika dia tidur itu berisik karena kebanyakan ngigau, gue takut khilaf lihat dia pakai baju tidur kebesarannya dan hotpants saat tidur. Gila, kakinya putih banget asli!

About (More Than) FriendsWhere stories live. Discover now