Satu

171K 18.6K 1.7K
                                    






Harus diakui, perasaan paling menyesakkan adalah saat menerima undangan pernikahan dari mantan. Mantan saingan, mantan gebetan, mantan pacar, mantan teman dan mantan-mantan lainnya.

-Karamina-


Sebuah undangan berwarna hijau tergeletak di atas meja ruang tengah, Kara yang baru mengambil sarapannya di dapur duduk di sofa lalu matanya melirik ke undangan itu. "Undangan siapa sih ini, norak banget. Ini kali ya namanya ijo mutah kucing." Kara mengambil undangan itu dan memeriksanya.

Undangan

Fitri & Rudi

Kara & Partner

"Heh? Dia mau nikah?" Kara membaca ulang nama yang tertulis di sana. Jelas itu adalah Fitri, musuh bebuyutannya di zaman SMA dulu. Dan cewek itu mengundangnya di acara pernikahan? Sepertinya mereka tidak seakrab itu.

"Mama..." panggil Kara kepada mamanya yang kebetulan sedang berkunjung ke rumahnya.

"Kenapa pagi-pagi udah teriak-teriak."

"Ini teh undangan dari si Fitri?"

Mamanya menyipitkan mata memandang undangan itu. "Iya kemarin ada yang nganterin."

Kara menghela nafasnya, tanggal yang tertulis menunjukkan kalau acara itu akan digelar dua minggu lagi. Dia merasa puas karena hari itu, dia akan bekerja sehingga punya alasan untuk tidak datang ke acara Fitri, tapi walaupun dia sedang tidak bekerja, tetap saja Kara malas sekali untuk datang ke acara itu.

"Kamu mau pergi?" tanya mamanya.

"Nggak, Kara kerja pas tanggal itu. Tugas di Graha Sativa."

Mamanya menipiskan bibir, lalu duduk di sebelah Ara. "Kamu teh kerjaan ngurusin nikahan orang, tapi kamu sendiri belum nikah-nikah. Kumaha atuh, Neng?"

Oh please jangan ini lagi! Batin Kara.

"Kamu udah 31 tahun, temen-temen kamu udah nikah semua. Kamu kapan nyusul?"

Kapan nyusul? Pertanyaan yang membuat Kara ingin mati saja kalau mendengarnya.

Kara diam tidak menjawab pertanyaan mamanya itu, lagipula apa yang harus dijawabnya? Dia berpura-pura berkonsentrasi menonton acara infotaiment bersama dengan mamanya yang meminum kopi robusta, sedangkan dia memilih menyesap cokelat panas dari cangkirnya. Kata Raditya Dika, kedewasaan itu diukur dari kita udah bisa minum black coffee atau nggak. Tapi Kara tidak pernah suka kopi, dia tidak suka pahit karena merasa hidupnya sudah kelewat pahit.

Tiga puluh satu tahun, angka yang membuat Kara pusing setengah mati, sebulan lalu dia seperti divonis penyakit mematikan oleh orang-orang sekitarnya saat memasuki usia tiga puluh satu. Orang-orang sering memadangnya dengan pandangan kasihan karena di usianya yang sekarang, dia masih betah seorang diri. Bagi Kara tidak ada masalah dengan usianya, dia masih merasa muda. Namun tidak dengan orang-orang di sekelilingnya, mereka menganggap Kara tidak muda lagi, belum menikah di usia di atas tiga puluh itu seperti aib.

Tidak jarang Kara mendengar bisik-bisik orang yang mengatainya sebagai gadis tua. Kara selalu berusaha menutup mata dan telinganya rapat-rapat agar tidak termakan ucapan orang-orang itu. Namun tetap saja semua ucapan itu bisa didengarnya, apalagi ketika saat dia sedang bertugas dan bertemu dengan kenalannya di resepsi pernikahan, pertanyaan yang sangat dibencinya akan lebih sering terdengar. "Kapan nyusul?"

Kara kadang pura-pura tuli saja kalau medengar pertanyaan itu. Kara tidak tahu apa yang membuat orang-orang bersemangat sekali menanyakan pertanyaan yang sama, bukan malah bersemangat mencarikan jodoh untuknya.

Di Penghujung 31 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now