Kali ini semua amunisi sudah gue persiapkan. Sebelum berangkat interview di perusahaan asing. Sebut saja "kaefce". Gue harus memakai seragam rapi. Kemeja atas berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam. Jadi kalau gue bayangin seperti tahi cicak berjalan. Tak lupa gue memakai sepatu pantovel berwarna coklat bekas paman gue saat masih bekerja di Bank Century. Tentunya sebelum dia di PHK.

Gue berjalan menyusuri perkampungan kumuh. Melihat panorama indah gundukan sampah masyarakat. Ada pengamen, pengemis, tukang semir sepatu, tukang parkir, pengemudi becak dan masih banyak lagi. Merekalah aktor kehidupan yang hidup di zaman antah berantah ini. Sebuah zaman yang penuh dengan retotika dan tipu daya setan – setan berdasi. Setelah sampai di kantor gue di persilahkan masuk. Inilah kali pertama gue masuk perusahaan asing. Disini suasananya sedikit aneh. Tak ada satupun nuansa dan tercium harum wangi lambang negara kita. Yang ada hanyalah simbol – simbol berwarna merah pekat.

Kebetulan gue di interview oleh orang Indonesia. Gue kira kalau bekerja di perusahaan asing, terus HRD nya juga orang asing. Ternyata gue salah besar. Percuma gue ikutan ujian TOEFL dengan biaya selangit. Semua karyawan disini adalah orang Indonesia tulen. Alias pribumi. Direkturnya orang Indonesia dan karyawanya juga orang Indonesia, tapi pemilik sahamnya rata – rata orang asing. Gue layaknya seperti boneka yang bisa dimainkan kapan saja dan dimana saja. Buat apa gue kuliah tinggi – tinggi , terus ujung – ujungnya gue kerja di perusahaan asing.

Sekali lagi. Gue melakukan semua ini karena terpaksa. Jujur saja. Gue hampir frustasi. Ratusan, bahkan seribu lamaran sekalipun tak ada satupun perusahaan yang tertarik melihat CV gue. So, semua terlihat jelas di dalam ijazah. Nilai IPK gue jeblok. Perusahaan – perusahaan besar hanya mau menerima lulusan sarjana dengan IPK tinggi. Kalau menurut gue itu merupakan sebuah rekayasa besar dan sekaligus sebagai ajang pembodohan atau perploncoan untuk lulusan sarjana kita.

Harusnya. Itupun kalau gue boleh usul. Negara kita itu harus membatasi lulusan sarjana untuk bekerja di perusahaan asing. Buat apa anak bangsa kita sekolah tinggi – tinggi tapi pada akhirnya di jadikan semacam budak di negeri sendiri. Sebagai warga negara yang baik. Gue tidak sepenuhnya menyalahkan negara atau pemerintah. Contoh kecil saja Eyang BJ.Habibie. Beliau adalah anak bangsa yang pernah mempunyai mimpi besar untuk bangsa ini. Beliau punya keinginan untuk membangun pabrik pesawat terbang di negara kita. Namun, apalah daya. Semua cita – cita itu sirna karena terkena masalah yang agaknya sepele. Hanya karena rasa takut, bangsa kita tidak mampu mewujudkan mimpi Eyang BJ.Habibie. Banyak lagi contoh kecilnya. Ketika mobil Esemka berjalan di dataran negeri tercinta. Banyak sekali retorika yang menjadi alasan. Kenapa Indonesia tidak membuat pabrik mobil listrik sendiri dengan harga yang murah?.

Sudahlah. Gue capek mikirin Indonesia. Lebih baik gue mengurusi masa depan gue yang gak karu – karuan ini. Singkat cerita, gue di terima di restoran siap saji "Kaefce". Setiap hari gue melayani konsumen selama 24 jam non stop. Terkadang gue harus berangkat pagi sekali dan terkadang gue harus rela nglembur sampai larut malam, di kala semua orang tertidur lelap. Bekerja di restoran siap saji mengajarkan gue tentang arti sebuah kedisiplinan. Gue harus disiplin kerja. Ketika salah, gue langsung di tegur. Menjadi seorang karyawan itu enak. Tiap bulan kita mendapat gaji tanpa harus memikirkan beban untung dan rugi. Pokoknya gue kerja dan kerja. Seperti visi dan misinya pak Jokowi – JK.

Malam ini tak sengaja gue bertemu dengan Sheila. Dia terlihat sedang duduk santai sambil menikmati hidangan ayam goreng kaefce. Pas gue lagi nganter makanan, tiba – tiba Sheila melihat ke arah gue. Sontak, gue langsung tergopoh – gopoh lari ke dapur. Cewek ini emang sedikit rese. Dia terus mengejar gue sampai ke dapur. Alhasil gue kecolongan kalau gue lagi ngumpet di bawah meja.

"Mas Tosa, Gak usah malu-malu. Ayo keluar?" comel Sheila. Terpaksa gue harus menampakkan diri. Rambut gue penuh dengan tepung. Seragam gue lusuh terkena debu – debu di bawah meja. "Ada apa, Shel?" tanya gue dan berpura-pura sok sibuk. "Cie... yang udah dapat kerjaan?" Sheila mengejek gue sambil tersenyum gak jelas. Wanita yang satu ini emang agak aneh. Kemanapun dia pergi pasti ketemu dengan spesies ini. Siapa lagi kalau bukan Sheila. Wanita kampungan yang bekerja di kota besar sebagai sales MLM. Gue pernah di ajak kerja di bagian sales MLM tapi gue langsung menolaknya.

Gembel BerdasiWhere stories live. Discover now