Laki-laki Berjersey

66 5 6
                                    

3 pasang kaki jenjang menelanjangi jalanan Jakarta, bising lalu lalang kendaraan menuntut volume suara mereka sedikit dinaikkan.

       "Akan kubuat gawang SMA Cendekia dengan terpaksa menyambut golku esok hari"

Celetuk bergenre sombong terlontar dari salah seorang pemilik kaki jenjang tadi, Alan namanya. Penampilannya sama sekali tidak mencerminkan dia anak yang baik. Rambutnya acak, ujung poni sedikit menyentuh bibir tipis merah mudanya. Jersey oranye yang dikenakan kotor, penuh lumpur, mungkin karna ia baru saja pulang dari latihan di lapangan. Tapi cuaca sangat terik sedari pagi.. lalu soal lumpur? Mungkin saja ada jasa hujan lokal di lapangan yang sengaja dipesan agar mereka tak begitu tersiksa oleh terik. Kotor dan lusuh, tapi tetap pantas membalut di tubuh tegap berdada bidang itu.

    "Hey lan, buat gawang itu sampai bosan menyambut banyak gol dari kaki-kaki kita. Barangkali akan terjadi perang dingin antar pemain karna saling menyalahkan"

Beni menambahkan. Beni yang kira-kira 5 cm lebih pendek dari alan memiliki tubuh lebih gemuk diantara ketiganya, dan menempati posisi berat badan terberat di timnya.
Satu lagi namanya Reza, mendengar 2 temannya berbincang ia hanya tersenyum, sekedar meyakinkan Alan dan Beni bahwa dia masih bernyawa. Reza bukan pendiam sebenarnya, barangkali latihan selama 3 jam dari jam 2.30 siang hingga senja ini cukup menguras tenaganya, bahkan jika dipaksa bicara ia lebih memilih menggunakan semaphore saja.

Mengingat kekalahan timnya di pertandingan persahabatan antara sekolahnya, SMK Hayam Wuruk, dengan SMA Cendekia bulan lalu membuat Alan geram sendiri. "Kita balas kekalahan kita besok" ucap Alan dengan banyak penekanan seraya melemparkan bola yang sejak tadi dibebankan kepada lengan kanan dengan sekuat tenaga, seakan lemparannya itu bisa menjamin kemenangan di pertandingan esok.

Bola itu melayang, mendarat tepat di kening gadis bernama Jihan. Sontak ia mengaduh.
Sambil memejamkan mata ia mengusap keningnya, dan ketika membuka mata tiba-tiba sudah ada 3 laki-laki berjersey oranye di hadapannya. Sedikit kaget, tetapi samar. Jihan hanya setinggi 150 cm, dan untuk menjatuhkan mata teduhnya tepat di mata para lelaki berjersey di depannya sukses membuat kepalanya mendongak maksimal. Hanya dalam hitungan detik mata teduh itu memandang, setelahnya ia membungkukkan badan mengambil benda bulat yang membentur keningnya tadi, rambut panjang yang tergerai tak diikat menyapu tanah, poninya jatuh tepat di kelopak mata, manis sekali.

     "Ini bolanya, sekedar mengingatkan. Ini jalanan umum bukan lapangan sepak bola. Meski tak sampai amnesia kau kira benturan benda ini tak sakit?",
serambi menyodorkan bola itu dengan kedua tangannya. Gadis itu sedang marah, ada banyak kata yang ditekan sekeras mungkin agar terlihat lebih antagonis, tapi nyatanya suaranya terlalu kalem untuk itu. Bicaranya dibuat sekasar mungkin, tapi tetap saja terdengar menyejukkan.
Kedua tangan Alan menyambut ramah tangan-tangan mungil yang memberikan bola tersebut.

  "Hey ini juga bukan jalanmu saja kan, disini kami juga pengguna jalan yang bisa melakukan apa saja. Dan apa lo tau? Menghalangi hobi seseorang itu melanggar HAM" Alan menimpali tanpa rasa bersalah sebiji sawipun. Dengan nada yang tak seramah sambutan tangannya.

   "Dan apa kau tau? Di jalanan ini kita punya hak yang dibataai dengan hak orang lain. Aku heran dengan kebanyakan lelaki, kenapa menghabiskan waktu untuk sekedar mengejar bola, setelah dapat dioper pada yang lain, memperebutkannya lagi, dan..."

Jihan tak melanjutkan kalimatnya, padahal ada banyak kata yang tertahan di ujung lidah. Mata teduhnya tiba-tiba sendu, memandangi bola yang baru saja ia berikan kepada Alan, ada air mata yang memberontak ingin keluar tapi tak ia izinkan. Ada apa dengan Jihan? Entah, merona megapun juga menyerah menerka apa yang membuat Jihan sedemikian. Ia kemudian menunduk, menghindari binar curiga dari para lelaki berjersey oranye itu.

   "Kau ini kenapa? Ha? Emang benturan tadi sakit banget ya? Sampek berkaca-kaca gitu. Idih kok lebay".

Ucap reza penuh kebingungan, ini kalimat pertama yang ia bunyikan sejak sedari tadi diam saja.

  "Dasar cewek aneh lo, yang bikin heran itu lo bukan para pemain bola. Lo tuh gak tau apa-apa soal bola, jangan sok ngrendahin pejuang lapangan hijau. Di sepak bola ada banyak makna yang gak pernah lo tau ! Ngerti ! Ditambah muka sedih kayak gitu, biar apa? Biar kami ganti rugi karna kepala lo yang terbentur tadi? Sinetronis lu!"   Sahut Alan.

Nada bicaranya kasar, keras. Menyita perhatian beberapa pasang mata pejalan kaki lain. Entah apa saja yang ada dipikiran para penduduk ibu kota yang menatap mereka saat itu. Ada yang melihat sekilas lalu memalingkan muka dan melanjutkan aktivitas seolah tak tertarik, ada yang melihat sinis kemudian membisikkan bahan pergunjingan pada orang di sebelahnya, ada juga yang tiba-tiba mendekat, menyelidik lebih dalam apa yang terjadi... dan sebagian besar adalah kelompok ini.
Melihat banyak kerumunan mendekat, Beni memandangi sekeliling sambil heran, ia mengernyitkan mata, menggaruk kepala yang tak gatal, salah tingkah. Sementara Reza hanya pura-pura buta, seakan kerumunan itu tidak ada.

   gadis mungil itu bersuara lagi, "Maaf, bukan maksud meludahi hobimu. Aku yang salah. Aku minta maaf ya", Jihan mendongak, mempertemukan irisnya tepat dengan iris Alan, sejenak ia memandangi bayang dirinya di iris pekat itu. Lalu kemudian pergi, menyibak kerumunan orang yang menghalangi jalannya, dan membiarkan orang-orang memperhatikan punggung Jihan menjauh, bersama rambut bergelombang sepanjang lutut yang tergerai. Melambai tertiup angin. Rupanya sang pemilik rambut membelokkan langkahnya menuju sebuah gang di kiri jalan.
Dan lambaian rambut itu tak nampak lagi.
Sesaat setelah rambut panjang itu berlalu, kerumunan itu dengan cerdas membubarkan diri tanpa menunggu aba-aba BUBAR JALAN dari salah seorang berbalut jersey yang beberapa saat lalu mereka jadikan tontonan.

Reza, Beni dan Alan saling melempar pandang. Ada keheranan yang sama, ada pertanyaan yang sama di benak mereka. Tentang gadis yang terkena lemparan bola, dan tentang apa yang membuat mata teduh itu sampai sedemikian sendu. Serentak Reza dan Beni melempar pandang pada Alan. Alan mengangkat kedua bahu mengisyaratkan bahwa ia pun tidak tahu menahu.

"Kemungkinan besar dia gila"

Mendengar opini Alan kemudian ketiganya tertawa, sangat keras hingga mengalahkan bising lalu lalang kendaraan. Tapi kali ini tak ada kerumunan mendekat lagi.
Mereka terpingkal, hingga badannya tergoncang. Keheranan itu berubah menjadi humor level sedang yang cukup mengocok perut dan jadi hiburan pelepas penat setelah latihan. Mereka kembali menapakkan kaki, menuju barat. Menentang matahari yang sudah mulai lelah bersinar seharian. Senja mengantar mereka pulang, hingga perlahan meronanya hilang. Menyudahi siang, menyita terang, berganti gelap berhias bintang. Indah, indah sekali langit Jakarta malam itu.

Hay para penikmat sastra 😘
Mau tau cerita selanjutnya?
Baca terus yak... jangan lupa comment biar lebih semangat updatenya... itung itung amal buat author yang masih pemula ini 🙆

Peneduh TerikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang