1

11 2 0
                                    

Pasukan Kecil

"Bu, ke rumah Juna dulu," seru Dia pada ibunya yang ada di dapur.

"Arep opo ta?"

"Main lah, biasa"

"Ya"

Dia atau lengkapnya Diandra segera berlari kecil menuju teras, memakai sandal dan melintasi pekarangan menuju gerbang yang tinggi melebihi dirinya. Dia memakai kaos biru langit polos dan dimasukkan kedalam celana selututnya, seperti biasa. Rambut pendeknya sedikit mengembang namun tidak terlalu kentara karena dia memakai topi.

Ayah Dia memberi nama putrinya dengan tambahan namanya sendiri di belakang, Diandra Yamin. Diandra yang berarti anggun dan kuat, jadi ayahnya yang seorang nahkoda itu mengiginkan putrinya tumbuh menjadi gadis yang anggun tapi juga kuat dan bisa diandalkan. Karena itulah tidak heran kalau Dia berbeda dari anak perempuan lain.

Dia berjalan lewat jalan di samping rumahnya. Di jalanan itu jarang ditemui rumah warga, sebagian besar hanya kebun-kebun jati dan pisang, membuat jalanan itu terasa teduh. Sebenarnya jika Dia pergi ke rumah Juna lewat jalan yang lebih ramai bisa, tapi anak itu lebih menyukai jalan sepi itu karena menurutnya lebih cepat sampai.

Sesampainya di gang sempit yang di apit dua rumah, Dia memasukinnya. Ujung dari gang kecil ini adalah sebuah tanah lapang yang tidak bisa disebut luas tapi sangat nyaman untuk tempat bermain, Dia suka itu. Tanah lapang itu dikelilingi beberapa rumah dan salah satunya adalah rumah Juna, yang didepannya ada pohon mangga dan tanah pekarangannya ditutup oleh batako.

Pintu rumah Juna terbuka sepenuhnya, sepertinya ada tamu. Belum sempat Dia memanggil Juna, anak laki-laki itu sudah keluar dengan senyum yang cerah.

Anak laki-laki yang berperawakan kecil, persis seperti ibunya. Bahkan Dia terlihat sedikit lebih tinggi darinya. Tapi untuk warna kulit, Juna lebih putih dibanding Dia. Arjuna Ramaditya. Teman bermain Diandra dari mereka belum bisa berbicara sampai sekarang kelas 3 sekolah dasar. Orang-orang bilang mereka sudah berteman sejak masih dalam kandungan ibu masing-masing, karena itulah mereka dikenal oleh satu desa. Bagi anak-anak lain Dia dan Juna adalah simbol dari kesenangan.

"Ayolah cepet, Setu sudah nunggu dari tadi," Juna mengambil sepedanya yang ia sandarkan pada pohon mangga. Dia pun segera mengambil posisi berdiri di belakang Juna dan berpegangan di bahu Juna, hal ini karena sepeda Juna tidak memiliki boncengan jadi Dia harus berdiri pada salah satu besi sepeda.

"Di rumahmu rame banget sih, Jun"

"Oh itu temen-temenya bapak datang"

Pak Arifin itu berprofesi sebagai anggota kepolisian, tempat dinasnya juga kadang berubah. Jadi suatu saat jika beliau dipindah tugaskan ke luar kota, bisa saja sekalian mengajak Bu Sari dan Juna.

Perjalanan mereka habiskan dengan mengobrol hal-hal lain seperti tim sepakbola milik Juna atau rencana bermain gelatikan minggu depan. Satu belokan lagi maka akan terlihat rumah Setu. Itu dia, tepat di deretan paling ujung. Memang tidak terlalu kelihatan, tapi mereka tahu karena seorang anak laki-laki tambun yang berdiri melambaikan tangan pada mereka. Sesekali anak itu meloncat-loncat karena senang.

Anak laki-laki tambun itu Dhika, kawan mereka satu lagi. Dengan perut yang berlipat-lipat dan selalu bersemangat, dan anehnya lagi dia masih kuat bermain sepakbola dengan perutnya itu. "Kalian beli topi sama, ta? Dasar... nggak ngajak-ngajak" ucapnya tepat setelah Dia dan Juna berhenti di sampingnya.

Dia dan Juna berpandangan sekilas dan tersenyum geli. Mereka memang baru membeli topi yang serupa kemarin di pasar malam. Mereka bangga akan itu dan memakainya hari ini meski cuaca tidak terlalu panas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 27, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TEMPOWhere stories live. Discover now