Sebuah Hambatan

16 0 0
                                    

Usai menghadiri gelaran Festival Sastra Garut, Rama kembali ke Bogor dengan tekat kuat di dadanya. Pertemuannya dengan Tari dan berbekal intuisi yang melekat di hatinya menumbuhkan semangat di dalam dirinya untuk segera menyusun rencana. Bagaimanapun dia harus segera mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis. Bukan saja untuk dirinya tetapi juga untuk janji yang telah dia buat, untuk seseorang yang begitu membuatnya terkesan, Tari.Siang itu, saat matahari hampir sampai di titik tengah, Rama sampai di rumahnya. Belum sampai di pintu rumah, dari arah pandang dua puluh meter, Rama tersentak. Beberapa orang tetangganya dan beberapa orang guru di sekolah ayahnya tampak berkerumun di pintu masuk rumah Rama. Jantung Rama perlahan berdetak kencang, sejuta tanya pun menyeruak dihatinya. Rama berlari dengan cepat menuju rumahnya. Rama sempat bertanya pada orang-orang yang berkerumun di pintu rumahnya. Rama pun masuk ke dalam rumah.


"Bapaaakkkk." Teriak Rama melihat ayahnya yang tengah di kerumuni beberapa orang di ruang tengah rumahnya.

"Bapak kenapa Bu?" Tanya Rama pada ibunya yang tengah mendampingi Pak Mustopa yang tengah berbaring.

"Bapakmu pingsan Ram, tadi sewaktu ngajar di sekolah." Turur Ibu Fatimah, ibunya Rama.Lalu Rama memegang tangan ayahnya. Ditatap wajah ayahnya yang hitam kusam, kulitnya yang bergaris keriput, dan rambutnya yang tidak lagi hitam. Rama pun menitikkan air matanya. Orang tua itu memang sudah melakukan banyak hal untuk keluarganya. Menyekolahkan anak-anaknya. Tetapi dia yang mestinya duduk di kursi goyang, masih harus memikul beban. Beban yang berat dari zaman yang mungkin bukan lagi zaman baginya.Sesaat kemudian Pak Mustopa siuman.

"Rama.. Ibu.. ada apa ini?"

"Sssttt... Bapak jangan banyak bicara dulu."Setelah Pak Mustopa siuman beberapa orang yang berkumpul di rumah Rama kemudian pamit pulang.

Beberapa hari berlalu, Pak Mustopa sudah kembali sehat. Rama sangat bersyukur orang tuanya masih diberi anugerah kesehatan. Dia kemudian bisa kembali berkonsentrasi untuk menjalankan rencananya mewujudkan impiannya menjadi seorang penulis novel.

Malam itu ditemani lampu meja, Rama mengambil beberapa helai kertas polio. Satu buah pulpen sudah mantap dia genggam dan siap menjamah ribuan kata yang akan melahirkan sejuta makna. Saat dia mulai menuliskan kata-kata yang sudah antre di otaknya, Rama diheningkan oleh suara batuk ayahnya. Kontan ribuan kata yang sedari tadi sudah mengantre untuk ditulis memilih untuk membubarkan diri.

Di keheningan malam itu, Rama menghela napas panjang. Dia menaruh pulpen yang sudah diapit kuat oleh jari-jarinya. Dia lalu beranjak melangkahkan kaki ke kamar ayahnya. Dihampirinya Sang Ayah yang nampak tengah dipusingkan oleh helai-helai kertas di meja kerjanya.

"Bapak sedang apa? Kok belum tidur, harusnya Bapak istirahat."

"Ini Ram, Bapak sedang menghitung-hitung laporan BOS." Ujar Pak Mustopa.

"Memang laporan terakhir dikirimkan kapan Pak?"

"Lusa, tetapi Bapak bingung. Terlalu banyak pengeluaran tanpa kuitansi."

"Pasti dana-dana 'partisipasi' ya Pak?"

"Ya biasalah Ram. Kita kan cuma bisa manut saja."

"Kenapa orang-orang tidak menolak dana-dana 'partisipasi' itu?"

"Buat apa Ram? Itu kan cuma mempersulit diri."

"Ya sudah, Bapak sekarang istirahat saja, biar pekerjaan ini Rama yang mengerjakan."

"Enggak usah Nak.. Inikan pekerjaan Bapak."

"Bapak sudah terlalu banyak bekerja, untuk keluarga, untuk sekolah, sekarang izinkan Rama bekerja untuk Bapak."

Antara Mimpi, Janji, dan CintaWhere stories live. Discover now