Bagian 1

495 1 0
                                    

Pagi yang cerah untuk hati yang gelisah. SMA 22 masih seperti biasa. Hatiku pun masih seperti biasa. Resah. Seperti seorang bapak menanti kelahiran anak pertama. Bagaimana tidak, sudah tiga tahun aku memendam cinta pada seorang siswi bernama Dita. Namun, tak juga dapat kuungkap. Ya, dapat dibandingkan dengan sebentuk janin yang tak juga lahir ke dunia. Mengendap dalam rahim, menyesakan raga. Selain perbedaan taraf sosial yang membuatku minder, jalinan persahabatan terlanjur mengikat aku dan Dita.

Padahal, banyak wanita yang menyukaiku. Bagaimana tidak, kata orang, aku cukup menarik. Wajahku mirip artis Vino G Bastian. Berkulit hitam manis. Mampu menarik hati siswi di sekolahku. Mencoba meraih simpatiku. Namun lagi-lagi itulah cinta. Tak bisa di paksakan. Namun aku percaya, suatu hari nanti cinta ini pasti terlahir. Aku tak akan memaksanya terungkap sebelum waktunya. Cinta yang terlahir prematur jelas tiada akan tulus.

30 menit sebelum bel berbunyi, aku sudah sampai di sekolah. Setelah memarkir Vespa butut, aku melangkah tenang menuju kelas. Beberapa orang siswi yang kebetulan jalan berbarengan denganku berbisik-bisik sambil melirik. Kuberikan mereka senyum termanis. Dan tentu saja tak ada seorang wanita pun yang tak bisa membalas senyumku. Namun teriakan seseorang menghentikan langkahku. Aku segera menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata Slamet, salah satu sahabatku yang terkenal medok asli Jawa sedang berlari ke arahku. Wajahnya menyimpan ketakutan dan cemas.

"Kenape, Tong? Ketemu Setan lu!" seruku ketika Slamet sudah berada di depanku.

Slamet mengatur napas. Dadanya kembang kempis. "Gawat! Bahaya!" tukasnya dengan napas tersengal.

"Santai ... santai ...Tong! Tarik napass pelaan ... tahan 40 hari!"

"Ko'it dong, Ana!"

Aku tertawa "Lagian, tiba-tiba, gawat, bahaya dan sejenisnya sedang menghampirimu! Apaan?!" jawabku sambil melangkah melintasi lapang basket menuju kantin. Slamet merendengiku. Dadanya turun naik mengatur napas.

Aku menghentikan langkah,"Tunggu tunggu! Ape lu bilang tadi Tong?" tanyaku sambil menghentikan langkah.

"Bahaya!"

"Bukan!"

"Gawat!"

"Bukan itu!"

"Yang mana dong Akhi?" tanya Slamet.

"Nah itu! Kamu bilang'Ana', Akhi' sarapan daging Onta lu!"

Namun Selamet malah tersenyum bangga.

"E ... buset! Malah nyengir!" seruku.

"Memangnya kenapa, Akhi? Bukankah kita sebagai generasi muda Islam harus berkata dan bertindak secara Islami pula!" Slamet tetap sekalem motivator.

Aku terdiam. Menatap Slamet dari ujung sepatunya yang pagi ini memakai sepatu kulit hitam mengkilat, hingga wajahnya yang juga mengkilat, berminyak. Nggak tahu kenapa juga wajah Slamet selalu terlihat berminyak atau mungkin dia kalauc uci muka pakai minyak wijen. Ah, bodo amat, Si Amat aja nggak bodo.

"Tapi kagak ada punuknya kok!" Aku nyengir.

"Ana kan bukan onta Akhi!" Nada bicara Slamet tetap lembut dibuat berwibawa.

"Busyeett..'Insan', udah kayak ceramah aja lu ..." Tukasku.

"Kenape lu tiba-tiba jadi ngustad gini, Tong. Kemarin masih ngomong lu-gua!" sambungku.

Lagi-lagi Slamet hanya senyum sambil membetulkan kerah bajunya. Mungkin dia mengira aku kagum kepadanya.

"Akhi Gama akan mengerti sendiri kenapa saya begini jika Akhi belajar agama," jawabnya penuh percaya diri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 18, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MenduaWhere stories live. Discover now