Bab 3: "Ayah, Aku Minta Ampun."

1.6K 322 49
                                    

"Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada fakta bahwa dirimu telah dibuang oleh Ayah kandungmu sendiri dan kehilangan yang seharusnya selalu kamu jaga sampai kapanpun."

👊👊👊

MELEWATI jalanan yang tadi mereka lalui saat berangkat, Andra dan Hema bersisian dalam keheningan. Genangan air menjadi salah satu alasan mengapa Andra begitu sangat memerhatikan langkah mereka berdua.

"Kak, kaki Kakak nggak sakit?" tanya Hema rendah memecah kesunyian seraya menatap kedua kaki Andra yang terkena bercak tanah merah.

Andra tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Nggak kok."

Meski Andra mengelak bahwa dirinya tidak kesakitan, Hema dapat melihat jelas bahwa sesekali kakaknya itu meringis bila tanpa sengaja menginjak kerikil. Gara-gara keisengan anak orang kaya di sekolahnya, Hema jadi memakai sepatu yang harusnya dikenakan oleh Andra.

"Maafin Kakak, ya," ucap Andra agak muram.

Hema mengalihkan pandangan ke arah Andra, memberi sorot mata keheranan. "Minta maaf kenapa, Kak?"

"Karena kamu malah jadi pake sepatu itu lagi. Pasti nggak nyaman, ya?"

Seharusnya Hema yang mengatakan itu, bukankah Andra yang justru merasa tidak nyaman? Hema masih beruntung karena kakinya terlapis sepatu walau tak layak pakai setidaknya bisa melindungi kakinya. Tetapi, Andra? Sepatu basah yang disiram oleh anak orang kaya itu ditenteng sementara telapak kakinya berkeliaran bebas tak beralaskan.

"Nggak, Kak. Hema nyaman." balas Hema tulus kemudian hilir angin membelai seluruh tubuh Hema, dia menggigil kedinginan, syal yang dia gunakan sebagai penghangat tubuhnya tadi pagi sudah dia berikan ke Kucing. Alhasil saat hujan turun daya tahan tubuhnya pun menurun drastis.

Andra yang menyadari adiknya terbatuk lalu perlahan-lahan bibirnya membiru pun cemas. Dia sendiri mulai merasakan demam tapi itu bukan masalah, sebab Hema lebih mengkhawatirkan daripada dirinya sendiri.

"Kakak ngapain?" tanya Hema pada Andra, kening bocah itu mengerut melihat kakaknya sibuk membuka kancing seragam.

"Kamu kedinginan kan?" Andra balik bertanya, usai seluruh kancing tersebut terlepas dari pengaitnya dia merentangkan kemudian menaruhnya di pundak Hema. Menyelimuti tubuh dingin adiknya supaya hangat. "Gimana? Lebih baik dari yang tadi?"

Mata Hema bergerak, dia terharu akan kepedulian Andra. Meskipun dia hanya berbalutkan kaos putih pas badan dan kondisinya sendiri sedang demam, dia tetap bertanggungjawab melindungi Hema. Andra tidak ingin Hema tambah sakit, fisik Hema terlalu ringkih berbeda dengannya yang masih mampu bertahan.

"Kakak nggak kedinginan?" Hema menyuarakan kebingungannya menatap Andra yang tengah merapatkan kedua tangannya ke sisi tubuh.

Andra terkekeh, menyembunyikan gemeletuk gigi-giginya. "Nggak, kok. Kakak lagi mau dingin-dinginan. Udah lama kan kita nggak ngerasain kayak gini? Kalo di rumah biasanya kepanasan karena kita nggak punya kipas angin," alibi Andra.

"Kalo gitu Hema juga mau kayak Kakak,"

Hema hendak membuka seragam kebesaran Andra namun buru-buru Andra menahannya. "Jangan, nanti kamu sakit,"

"Lalu, Kakak sendiri?"

"Jangan pikirin Kakak, pikirin aja kondisimu sendiri. Kakak baik-baik aja selagi kamu nggak sakit."

Kemudian Hema menuruti apa kata kakaknya. Dia tidak lagi bersuara, cenderung terdiam memikirkan semua hal yang sudah terjadi selama hidupnya. Mengapa dia bisa memiliki seorang Kakak yang sangat mencintai adiknya bahkan rela sakit demi adiknya yang lemah ini? Kadang, Hema berasumsi bahwa Andra bukanlah kakaknya melainkan seorang Malaikat yang diutus Tuhan untuk menjaganya.

The Fight, Fighter, Lovers On!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang