Bab 5

321 56 2
                                    

Hinata baru mengerti apa yang disebut memiliki sebuah hubungan. Dahulu, ia berpikir interaksi selalu menghasilkan hal-hal merepotkan. Tidak sepenuhnya benar jika menilai ia menutup diri. Sebuah relasi yang dihasilkan melalui segenap interaksi, terkadang membawa dampak negatif, dan itulah yang ingin Hinata hindari. Ah, misalnya obrolan yang tak menarik baginya, tetapi ia berpura-pura tertarik demi mendapat perhatian si lawan bicara. Demi apa? Memancing pertemanan dengan sebuah kebohongan? Jika teman konon katanya menerima, lantas berpura-pura untuk apa? Mencari teman pura-pura juga? Hinata membangun dinding untuk menemukan yang tulus. Mungkin, yang serupa pemuda itu.

"Apa-apaan ini?" Hinata menepuk-nepuk pipi. Pikirannya secara alami melambung pada kencan kemarin lalu. Jalan-jalan singkat yang tak tahu karena apa membekas di hatinya sampai detik ini. "Apa-apaan sih aku?" inikah kenikmatan dari berkencan? sebuah refleksi, di mana hati dinginnya terasa hangat bak senantiasa mendapat pelukan. "Astaga," pantas kencan acap menjadi candu yang kerap mengetuk-etuk kalbu. Lama sekali Hinata tidak merasa ini. Pipi gembilnya yang spontan merona, disusul senyum di bibir yang tiba-tiba tersimpul.

Hati kecil Hinata boleh jadi mulai menyadari bila eksistensi Sunshine meniupkan angin baru dalam kehidupannya. Bagaimana pertemuan pertama mereka sukses membuat Hinata ketakutan, juga kemunculan-kemunculan Sunshine berikutnya yang selalu tiba-tiba hingga dengan sendirinya ia terbiasa. Hinata mulai memahami bahwa apa yang dia rasakan pada pemuda itu memang berbeda dengan perasaannya kepada orang lain. Rasa hangat yang selalu menyergap ketika berada di sisinya, degup jantung yang di luar kendali, rasa gugup tak terkira, dan semua gejala yang ia alami saat berada di dekat Sunshine memang berbeda.

Sunshine mendekati spesial. Sampai-sampai wajah tampannya terbayang, menemani Hinata di sepanjang tidur, hingga si gadis kutu buku membuka mata kembali.

.

Kicau burung merdu bersarang di telinga. Bau daun basah menyerbak seiring gerimis baru saja usai, terganti hangat-hangat sinar matahari yang mengintip malu dari balik awan. Suam sinarnya mencumbu kulit. Membekaskan rasa hangat, membuat tubuh ramping di balik selimut tebal itu menggeliat. "Jam berapa?" Hinata bermonolog. Tangan kirinya meraba-raba ranjang di mana pemuda itu--biasa ketika ia bangun—berada di sampingnya. "Sunshine?"

Tak terdengar jawaban apa pun, selaras tangannya yang meraba dan berujung hampa.

Hinata lantas segera bangun kemudian meregangkan bahu. Senyum tipis menghiasi wajah ayunya di pagi hari. Mungkin Sunshine masih ingin tidur. Jadi dia belum mau menunjukkan wajahnya. Matanya lalu melirik jam di atas meja rias. Pukul setengah tujuh. Waktunya kembali beraktivitas.

.

"Telur, terigu, maizena, cokelat bubuk, baking powder, gula pasir, cokelat pasta, mentega, dark cherry, non dairy cream, simple syrup. Oke, semua telah tercatat."

Raga mungilnya sudah berlalut pakaian sederhana. Gayanya berpakaian memang bukan ala fashionista yang pandai me-mix and match baju sehingga perpaduan antara atas dan bawah terlihat sempurna. Hinata mengibas-ibaskan rok putihnya yang memiliki panjang di bawah lutut. "Oke, aku sudah siap," ucapnya dalam hati. Ia mengenakan kaus lengan panjang bermotif zig zag dan tas selempang. Tiga hal ini cukup membuatnya percaya diri keluar rumah menuju supermarket terdekat.

Memasukkan daftar belanjaan ke dalam tas, hari ini sejenak abai dulu pada monitor usang di meja kerjanya. Hinata ingin memberi kejutan kepada Sunshine dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengolah bahan makanan. Ketika membuka-buka buku resep sehabis mandi tadi, sepertinya sepotong black forest cukup lezat ditemani secangkir teh hangat. Menikmatinya sembari memandang purnama dari balkon rumah. Duduk berdua dengan temaram sebagai penerang. "Hmmm ..." Hinata sudah tidak sabar.

Marry SunshineWhere stories live. Discover now