"Oh?" Aku memusatkan perhatianku pada langkahku, menekan perasaan tidak enak yang muncul disebabkan jawaban Vee. "Kapan?"

"Kamu tahu 'kan kalau aku berada satu kelas dengannya tahun lalu?" Aku mengangguk. "Nah waktu pelajaran olah raga dia mendatangiku, berdiri didepanku dan menatapku. Tatapan matanya sangat tajam! Aku melihat mulutnya bergerak tetapi aku tidak tahu kata apa yang keluar dari sana karena aku tersihir." Vee bergidig.

"Terus?"

"Karena aku tidak bergerak, dia menjentikkan jarinya didepan wajahku. Mengetahui kalau aku sudah sadar dia lalu berbicara dengan pelan namun jelas setiap kata seperti bicara pada bayi." Vee berbalik menghadapku, kedua tangannya ia letakkan pada bahuku dan menatapku serius. "'Be-ri-kan bo-la-nya pa-da-ku'" tambahnya mengakhiri reka ulangnya.

Aku tertawa. "Jadi maksudmu, kamu berdelusional bahwa dia memandangmu dengan penuh arti?"

"Hey jangan mengejekku karena aku naïve."

Aku cuma menggelengkan kepala sambil tersenyum. Masuk kelas, aku menemukan teman sebangkuku sedang memukul-mukul tasnya.

"Rally! Happy birthday!!" seru Vee, seraya menghambur ke arah Rally dan memeluknya.

"Oh-oh. Kenapa dengan raut wajahmu itu?" tanyaku begitu aku mendekat.

"Gue kesal banget!"

"Kenapa? Ini harusnya jadi hari yang membahagiakan. Sweet seventeen!! Yeay!" seru Vee bersemangat.

"Raymond tidak memberimu kado?"

Rally menggeleng. "Aku sudah putus sama dia semalam."

"Oh Rally, aku menyesal mendengarnya." Tapi aku tersenyum saat mengucapkannya.

"Aku juga menyesal," ucap Vee. Senyumnya lebih lebar dari aku.

"Ngga, kalian ngga menyesal. Jadi diam saja," gerutu Rally.

Siapa juga yang menyesal kalau sahabatmu putus hubungan dengan cowok pelit, egois dan narsisnya minta ampun?

"Aku bisa mengatakan hal yang sama padamu," kataku sambil tertawa. Rally menghendikkan bahu. "Jadi ini bukan karena Ray. Kenapa wajahmu seperti pancake gosong begitu?"

Rally menghela nafas. "Pernah nggak kalian mendapat hadiah yang membuat kalian ingin bunuh diri?"

Vee menggeleng.

"Ingin bunuh diri sih nggak, tapi ingin melemparkannya kembali ke orang yang memberikan sangat sering," kataku.

Vee tertawa. "Pasti tidak enak yah sudah sebesar ini hadiah kalian masih sama terus setiap tahun."

Aku mengangguk dengan cepat. "Jadi apa nasibmu sama denganku?"

Rally bukan anak kembar akan tetapi dia punya banyak saudara dan keluarganya punya tradisi membuat baju dengan motif yang sama pada kesempatan tertentu. Misalnya saat tahun baru.

Rally menggeleng. "Lebih parah."

"Oh? Apa itu?"

"Aku minta dibelikan laptop baru, eh malah mereka memberikan SIT dan parasut," gerutunya.

Aku dan Vee tertawa dan mendapat pukulan dari Rally. Namun itu tidak menghentikan tawa kami. Kami teman yang sangat baik, jadi begitulah.

Aku mengenal Rally sejak SMP. Seperti yang lain, aku juga tertawa begitu mengetahui nama lengkapnya ; Paralayang Sejati. That sucks, really. Awalnya aku memanggilnya Par atau terkadang nama lengkapnya, tapi dia selalu berubah menjadi kingkong overdosis setiap aku melalukan itu. Kemudian aku mengikuti panggilan dari teman satu SDnya yaitu Ayang, tapi panggilang itu terasa janggal saat keluar dari mulutku.

Heartbeat⇝Where stories live. Discover now