Kalang Kabut

129 5 2
                                    

OrangAsing

Waktu itu seperti biasa. Mendung kemari, jalanan di jembatan kota dilewati angin-angin. Bau keringat, amis ikan, tumpahan jajanan tercium bersama angin polusi. Mobil dan motor berlalu-lalang dalam dua arah, memintas senja yang mendekap seorang perempuan, tengah tersenyum riang.

Dia berdiri di tepi, bersender pada gagang jembatan-biarpun luntur cat biru kusamnya, juga penuh dengan bekas kikisan; tempat itu satu-satunya-memperhatikan lampu-lampu yang membentuk garis lurus, kemudian menghilang. Sinar-sinar remang itu lama-lama menjadi jelas; waktu mulai berganti.

"Hei, Dikau!" teriak perempuan itu ketika menangkap sebuah sosok yang ditunggu-tunggu.

Sosok itu menoleh, wajahnya menunjukkan penat dan kesal. Dia berbalik, merutuki dirinya untuk melewati jembatan.

Tetapi kemudian dia terus-menerus mendengar seruan wanita itu. Tidak mau berhadapan dengan tatapan-tatapan curiga di sekelilingnya, dengan berat hati dia kembali ke jembatan itu. Barata menerobos pejalan-pejalan di depannya, tahu-tahu dia bertemu dengan kedua mata abu itu lagi.

Menemukannya di atas mudah. Hanya dia seorang yang, diantara pengguna-pengguna jembatan ini yang sibuk, memanggil seseorang yang baru bertemu dua kali. Juga tidak ada yang memperhatikan perempuan itu; dia juga tidak meminta perhatian.

"Bukankah seharusnya kau sudah di rumah?" tegur sosok itu merapatkan jaket beratnya, "perempuan tidak boleh keluyuran malam-malam."

Perempuan itu merentangkan kedua tangannya, "ini rumahku."

"Cepat pulang. Jangan menghabiskan waktumu dengan orang asing."

"Aku tidak bisa pulang," balas perempuan itu menunjukkan sederet giginya.

Barata menghela napas, "dengar, kita baru bertemu kemarin. Tiba-tiba kau memanggilku, aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi. Kau terus mengoceh sampai tengah malam, dan aku orang asing kena akibatnya: bangun kesiangan hari ini, jadinya.

Aku tidak tahu namamu, kau tidak tahu namaku. Kau memanggilku Dikau, dan aku baru selesai aktivitas. Aku orang asing yang terlalu letih meladeni perempuan yang tiba-tiba akrab dengaku. Jadi, pulanglah."

Ketika Barata siap-siap meninggalkan perempuan aneh itu, dia ditarik paksa ke belakang, kuatnya dia hampir terlempar ke kali. Sontak dia berpaling dengan muka merah,

"Dengar kau perempuan! Kita bahkan tidak-"

"Aku lebih suka orang asing."

Barata tertarik, menerka-nerka maksud perempuan itu.

"Aku lebih suka orang asing. Mereka mudah didekati, mereka pula mudah ditinggalkan," kata perempuan itu, sekarang memanjat gagang jembatan.

"Uh, maaf. Aku bahkan tidak niat berbicara denganmu."

Perempuan itu berusaha mengangkat kaki kirinya di atas gagang,

"Menyapa orang yang asal dipilih diantara kerumunan ini, bukankah membuatmu kayak..." dia berusaha pikir, "wah! Deg-deg, begitu?"

"Tidak, itu membuatku gugup. Dan aku ingin cepat-cepat ke rumah."

Perempuan itu tersenyum lebar setelah berdiri di atas gagang jembatan. Dia menghadap matahari yang kian menghilang dibalik mendung yang tebal.

"Berdiri di sini, orang-orang pada tidak peduli denganku-padahal mereka sering melewatiku-dan aku boleh bersikap tidak acuh. Hidup bebas! Bukankah itu, menurut Dikau, yah, fantastis?" serunya mengarah ke air kali yang sekali-kali membawa buangan manusia.

"Ya, dan bisahkan kau mengizinkanku untuk kembali? Selamanya?"

"Jembatan ini akan runtuh sewaktu-waktu. Daerah ini mau dibuat jalan tol. Dikau dan aku, sampai hari ini pun hanya sebatas orang asing. Kita tidak akan bertemu lagi dan kita tetap menjadi individu yang sama sekali tidak paham satu sama lain," perempuan itu menghela napas, "kuharap hal itu berlaku untuk orang lain... Juga, Dikau."

Kalang KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang