Babahan

3.2K 222 23
                                    

[Babahan: pembukaan]
.
.
.
"Siapa namamu?"

Bocah laki-laki itu mengumpat dalam hati. Matanya menatap tajam, begitu menyiratkan sorot ketidaksukaan terhadap lelaki yang bertanya. Sikap lelaki dewasa yang mempertahankan senyum itulah yang dibenci si bocah. Rasa-rasanya lelaki dewasa itu menertawakan, mengejeknya karena ketahuan.

Padahal ia telah memperhitungkan segalanya, dimulai dari memilih waktu, tempat persembunyian, menentukan buah apa yang hendak diambil, segalanya dilakukan dengan cermat. Sebelumnya itu semua terlaksana dengan baik tanpa meninggalkan jejak.
Namun siapa sangka, perbuatannya mencuri buah mundu kali ini diketahui dua orang lelaki dewasa yang kini berada di depannya, menangkap basah dengan segelintir pertanyaan basi yang enggan dijawab. Pertanyaan itu pun dilontarkan berulang kali hingga si bocah bosan.

"He, bocah, apa kau tuli?"
Lelaki yang satunya lagi terlihat marah. Namun, bocah itu hanya diam. Tiada takut di wajahnya. Ia bahkan berani menatap dua lelaki dewasa di depannya yang mempunyai yatna* kuat dan seharusnya bisa membuat bocah itu menangis.
[Yatna: energi, aura]

"Tenanglah, Tuhun. Berikan anak ini waktu untuk menjawab." Lelaki pertama menengahi.

"Baik, Gusti." Lelaki bernama Tuhun membalas.

"Jadi, siapa namamu? Dan, kenapa kau mencuri mundu? Apa kau akan membaginya dengan keluargamu? Oh, di mana rumahmu?"

Bocah itu menatap lelaki yang dipanggil "Gusti", lelaki yang sedari tadi melontarkan beberapa pertanyaan dengan sabar meski bocah itu belum jua menjawabnya, lelaki penuh kharisma yang membuat bocah laki-laki itu tertarik. Walau tidak suka, si bocah mengakui bahwa sang "Gusti" memiliki sesuatu yang istimewa, sesuatu yang membuatnya segan dan sedikit tunduk hanya dari tatapan mata.

"Nama saya Nawala, Gusti. Dan saya tidak mempunyai keluarga, jadi buah mundu ini saya curi untuk hamba sendiri karena kelaparan, Gusti." Si bocah pada akhirnya menyerah. Kalaulah dua lelaki itu melaporkannya kepada si pemilik buah dan ia berakhir meringkuk di pamanjaran, itulah keapesannya.
[Pamanjaran: penjara]

"Oh, kau tahu siapa aku hingga memanggil 'Gusti'?" Sang "Gusti" bertanya.

"Tidak, Gusti. Saya hanya mengikuti Gusti Tuhun. Tentulah panggilan 'Gusti' hanya digunakan oleh orang-orang tertentu. Itu adalah panggilan tertinggi di tatanan masyarakat. Mungkin Gusti adalah seorang akuwu, juru tulis kedaton, hulubalang, entah apa pun itu.
Tetapi, saya tetap tidak mengenali Gusti sendiri. Lagipula, perbuatan pencurian ini tidaklah dilakukan saya seorang. Ada banyak pencuri, hanya saja saya sangat apes hari ini," jawab si bocah dengan lantang. "Saya mencuri karena terpaksa. Saya sangat lapar dan tidak memiliki kepeng sementara pencuri lain tidak memerlukan alasan untuk mengambil barang orang lain karena itulah pekerjaan mereka. Sebagian besar adalah pemalas yang menginginkan pendapatan secara singkat. Apabila Gusti berdua masih memiliki akal dan nurani, kiranya perbuatan saya ini masih bisa diampuni."

Tawa sang 'Gusti' meledak mendengar si bocah mencoba melakukan kesepakatan, sementara Tuhun terlihat ingin menegur, tetapi segera saja ditahan oleh lelaki satunya.

"Ampun, Gusti, anak ini sepertinya kurang diberikan pengajaran sehingga adabnya tidak baik," sahut Tuhun.

"Heh, aku suka dengan bocah ini, Tuhun! Dia cerdas!" balas sang "Gusti". " Berapa usiamu saat ini?"

Si bocah mengangkat kedua tangan lalu menunjukkan sepuluh jarinya.
"Sapuluh warsa!" jawabnya.
[Warsa: tahun, sapuluh warsa: sepuluh tahun]

"Kau cepat tanggap, Nawala. Aku suka itu," imbuh sang "Gusti".

Sementara lelaki itu meneruskan tawanya, si bocah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dilihat dari raut wajah lelaki bernama Tuhun, sepertinya dia salah akan suatu hal, tetapi dia tidak mengerti apa.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang