jangan salahkan jarak

15 0 0
                                    

"Kamu lagi ngapain?"
Suara lelah terdengar dari seberang sana. Sudah pukul 7 malam. Langit Jogja yang bertaburkan bintang-bintang menemaniku yang selalu sendiri menerjang badai rindu setiap harinya.

"Aku merindukanmu," jawabku. Baiklah ini bukanlah jawaban dari pertanyaannya. Sudah berapa banyak aku sering mengatakan rindu padanya? Ia tak bosan, bukan?

"Aku menanyakan kamu lagi apa, Sayang," suara seraknya itu menjadikanku ingin, ah memeluknya—tapi ini tak mungkin.

"Aku sedang memikirkanmu—lebih dari yang seharusnya." Aku tersenyum simpul sambil diam-diam berharap, ia juga tersenyum di sana.

"Aku pengen ngomongin sesuatu," tiba-tiba, suara seraknya berubah menjadi tegas. Bisa kurasakan sesuatu yang tidak kuinginkan akan terjadi. Perasaan khawatir dan takut bergejolak menjadi satu.

Pikiranku berjalan kemana-mana. Tidak—aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Mungkin akan ada hal yang ia ingin bicarakan padaku, mungkin tentang kesehariannya di sana, ataupun tentang tugas-tugasnya.

"Kamu ngerasa gak, kita beda akhir-akhir ini?"
dia memulai pembicaraannya. Aku hanya menghela nafas. Kepalaku mendadak terasa berat dan kedua mataku mulai memanas.

"Beda gimana?"
aku mencengkram pegangan kursi di balkon sekuat tenaga agar air mata ini tidak meleleh. Aku tidak boleh berpikiran buruk. Aku dan dia akan selalu baik-baik saja. Kita sudah bersama lebih dari 9 bulan.

"Kita tidak pernah menemui titik terang sepertinya. Ingat tidak, sudah berapa kali kita bertengkar dalam tiga hari terakhir? Seberapa keras kita untuk menyatukan pikiran, rasanya mustahil untuk tidak bertengkar karena hal-hal kecil."
Aku menelan ludah.

"Kamu ngerasa ga sih, kita sudah berbeda? Sudah susah untuk berbicara tentang hal-hal kecil tanpa bertentangan. Kita kenapa, ya?"
dia melanjutkan. Aku hanya terdiam, menutup mulut dengan tangan, tak mau ia mendengar isak tangisku.

"Apa maksudmu? Jangan basa-basi, apa—"

"Kita putus. Kamu sudah dengar, bukan? Aku tidak berbasa-basi lagi. To the point, kita putus, aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh lagi."

"K-kenapa kamu tidak bilang sejak—"

"Sudah, aku sibuk, teruskan jalanmu."

"T-tapi, halo? Say—"

Bagaikan di sambar petir di malam yang cerah, tanganku masih menggengam gawai ini. Aku hanya terdiam, membiarkan suara deru mobil di bawah menelan kesedihanku. Angin perlahan mengelus leherku yang di basahi keringat dingin.

Berada jauh darimu saja sudah membuatku menjadi seseorang yang—kurang. Aku sudah terlanjur memberikan duniaku padamu, juga separuh hatiku, hingga ketika kamu pergi semuanya hilang.

Aku masuk, meletakkan gawai di atas meja dan perlahan menghampiri balkon rumahku. Air mataku sudah kering, tidak lagi mengalir deras seperti rasa rindu ini padamu.

Aku menatap bulan, apakah kau juga menatapnya di sana? Perlahan, aku meletakkan tangan kanan di atas dada kiriku. Rasanya sesak, mengingat hatiku tinggal setengah saat diriku melangkah pergi ke dalam pesawat menuju Jogja, ratusan kilometer dari Jakarta.

Setengah—itu dulu—sebelum kau menghanguskan api kepercayaan yang sudah ku bangun selama sembilan bulan dengan susah payah. Sebelum kau merampas seluruh hatiku.

----------------------------------------------------------
HAIII MAAF YA AKU BARU UPDATEE SOALNYA BARU LIBURAN SEMESTER. makasi yah udh yang setia baca wattpad aku, jangan lupa vote♥️

LemonadeWhere stories live. Discover now