Al-Mushawwir (Yang Maha Membentuk Rupa)

13.9K 1.3K 116
                                    

Hubungan Zahra dan Abyan berjalan harmonis di hari-hari berikutnya. Zahra yang akhirnya berhasil merampungkan revisi skripsinya kini bisa bernapas lega. Ia hanya perlu menunggu hari wisudanya tiba bulan depan. Enak juga ternyata lulus kuliah setelah menikah, tidak perlu sibuk masalah pendamping wisuda, Zahra sudah punya pendamping wisuda yang sekaligus pendamping hidupnya. Hal itu jelas membuat Yola iri.

Beberapa hari terakhir Zahra memang disibukkan dengan revisiannya yang menunggu untuk diselesaikan.

Walaupun begitu, ia tetap melakukan kewajibannya sebagai istri, memasak, cuci dan nyetrika baju, sekaligus membereskan rumah setelah pulang dari kampus. Itu semua Zahra lakukan sendiri, berhubung Ibu sedang menginap di rumah Ica sejak tiga hari yang lalu. Jadi mereka hanya berduaan di rumah. Biasanya Ibu sudah memegang kendali untuk urusan memasak dan mencuci pakaian, Zahra selalu keduluan Ibu untuk kedua urusan itu. Padahal ia sudah meminta Ibu untuk tidak melakukannya agar Ibu tidak terlalu lelah.

Abyan sendiri masih sesekali sibuk bolak-balik Jakarta-Bandung untuk mengurus proyek terbarunya itu. Ia memang mengajak Zahra untuk ikut dengannya kemarin-kemarin, namun Zahra menolaknya halus dengan alasan harus meminta tanda-tangan dosen pengujinya untuk lembar pengesahan skripsinya.

"Kamu nggak ke kampus hari ini?" Tanya Abyan sambil menyantap nasi goreng buatan Zahra.

Zahra menggeleng pelan. "Urusanku sudah selesai, minggu besok ke kampus lagi untuk ambil toga dan undangan wisuda."

Sesekali Zahra mencuri-curi pandang ke arah Abyan yang menyantap makanannya dengan lahap. Zahra menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyuman ketika Abyan minta nambah porsi nasi gorengnya, dan dengan senang hati Zahra mengambilkannya lagi.

"Semalam kamu nggak makan malam ya, mas?"

Teringat semalam Abyan pulang larut malam, Zahra jadi khawatir Abyan melewatkan makan malamnya karena ia lupa menanyakannya semalam. Boro-boro menanyakan makan malam, Zahra saja sampai lupa dimana letak dapur karena matanya sudah kurang dari 5 watt.
Hampir saja ia masuk ke dalam kamar mandi demi membuatkan teh hangat, kalau saja Abyan tidak menangkap tubuhnya dan menggendongnya ke kamar tidur untuk melanjutkan tidurnya.

"Makan kok." Katanya di sela-sela kunyahannya.

"Tumben pagi ini rakus banget." Timpal Zahra.

Abyan menarik napasnya panjang, memberi kesempatan oksigen untuk masuk ke dalam paru-parunya.

"Ini karena nasi goreng buatan kamu enak banget, yang."

Zahra menjulurkan lidahnya, rayuan Abyan kali ini tidak mempan.

"Serius yang. Aku baru aja mau bilang kalau kamu harusnya buka rumah makan, karena orang-orang harus tau kalau masakan istri aku enak banget." Abyan mengacungkan kedua jempolnya ke arah Zahra

Zahra jadi tersipu malu. Entah sudah berapa kali Abyan masih selalu berhasil membuatnya tersipu malu begini walaupun mereka sudah menikah hampir tiga bulan.

"Ini pasti kamu lagi ngerayu aku biar besok-besok aku bikinin kamu sarapan lagi, kan?"

Abyan tersenyum lebar, matanya menyipit, "Boleh ya, yang?"

Zahra terkekeh geli, "Ya boleh atuh, mas. Kamu kan tinggal bilang, gitu aja pakai acara puji-puji makanan aku segala." Zahra meninju lengan Abyan gemas.

"Nggak nggak. Itu serius. Masakan kamu memang enak. Kalau kamu tertarik untuk bikin rumah makan, kamu tinggal bilang sama aku. Biar aku buatin desain yang spesial."

"Rumah makan apa yang isi menunya semuanya cuma nasi goreng? Jangan ngeledek deh." Zahra cemberut.

"Ya rumah makan kamu, yang." Abyan tertawa. "Kamu coba bikin inovasi baru, nasi goreng green tea. Pasti laku. Di Indonesia, fenomena green tea sedang mewabah dimana-mana. Apapun yang pakai green tea pasti laku."

As-Syauq (Rindu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang