Hanya dengan melihat, binatang dengan instingnya lebih cepat bertindak dibandingkan berpikir. Tidak ada satupun manusia di tempat yang bernama bumi yang menganggap bahwa seekor kelinci mampu hidup dengan rubah yang bahkan sewaktu-waktu bisa saja memangsanya. Namun berbeda dengan Monk, sebenci apapun ia dengan rubah jantan itu, ia tidak akan pernah mampu melepaskannya.
"3 jam lagi. Kau kira mau seberapa lama kau membaca koran itu? Apa yang menarik dari berita seorang koruptor yang mati?" Foc menggerutu, kemudian mengatai Monk bajingan sampai tujuh kali.
Sejujurnya Monk ingin sekali mencekik dan mengubur rubah itu hidup-hidup. Hanya saja di bumi yang mereka tinggali, berbeda dengan tempat asal mereka. Di tempat asal mereka membunuh sesama binatang bukanlah suatu soalan. Kau bisa mengajak tetanggamu berdebat lalu jika kau kalah, kau bisa membunuhnya keesokan harinya.
Tetapi, di bumi tempat manusia tinggal tidak begitu, mereka memiliki hukum bahwa membunuh itu salah. Bahkan kau bisa menghabiskan hidupmu di tempat sempit berbau pesing jika kau berani menyebarkan rumor buruk tentang tetanggamu di media sosial. Itu pelecehan dan penghinaan, jadi kalau kau mau selamat, jadilah penjilat yang munafik.
Sebagai seekor kelinci jantan berwana putih yang memiliki wajah bulu tanpa dosa, ia sudah tidak butuh berpura-pura. Ia hanya harus tersedu-sedu, memasang wajah sedih lalu melampiaskan kesalahan pada orang lain, semudah itu.
Sementara Foc si rubah, jauh lebih jujur, ia mengatakan segalanya secara terus terang, ia memaki, bila perlu menghajar mereka yang baginya menyebalkan tapi dari satu lain hal, dia semakin manusiawi. Itupun jika memacari gadis manusia kemudian meninggalkannya setelah puas dapat disebut manusiawi. Yang terpenting di mata Monk, Foc benar-benar terlihat seperti manusia dan itu membuatnya tidak leluasa bahkan merasa segan kepada rubah merah itu.
Mereka datang ke bumi 12 tahun lalu, saat itu planet mereka rusak karena hewan pemangsa yang mulai menanam tumbuhan duri yang mampu menyerap air. Kalau kau tanya untuk apa, tentu saja untuk membuat sungai kering.
"Lebih mudah untuk menangkap ikan kalau kau menghancurkan sungainya." Monk masih ingat saat itu yang mengatakannya adalah Latusa, si singa jantan itulah yang memimpin mereka.
Di planet mereka, Ikan tidak di hitung sebagai bagian dari masyarakat. Mereka hanya mangsa, tidak ubahnya seperti udang dan tumbuh-tumbuhan.
Kau mungkin terkejut, tapi Monk berani bersumpah bahwa ia benar-benar tidak berbohong. Lagi pula bukankah dunia berjalan dengan cara yang seperti itu? Mereka yang berada di puncak rantai makanan berhak menebar teror kepada mereka yang tidak sebanding.
Monk hanya rakyat biasa. Ia berada di tengah-tengah rantai makanan itu. Sementara Foc memiliki darah bangsawan karena ia pemakan daging. Tapi semenjak tinggal di planet manusia, Monk merasa ada sesuatu yang berbeda. Tidak seperti binatang, manusia jauh lebih unggul. Mereka di beri pilihan untuk mengikuti hati atau pikirannya. Tapi, kalau kau beruntung, kau akan menemukan binatang yang memiliki tubuh seperti manusia-manusia bumi.
Mereka bersembunyi dari bisikan-bisikan orang yang mencurigai mereka, berbaur seolah-olah mereka tidak memiliki niat buruk. Tapi tidak ada yang mampu menipu kelinci sepertinya. Karena itu, mungkin kehadirannya di planet ini bisa membuat tugasnya untuk mengumpulkan binatang yang hilang dari planetnya bisa jauh lebih mudah.
"Monk, pajangan baru kita sudah mulai berbau." Keluh Foc.
Monk tersenyum memegang koran yang memberitakan seorang pria paruh baya yang di temukan mati tergantung di atap rumahnya sendiri; tanpa sebelah kaki.
"Ya, kau tahu. Kakinya perlu desinfektan."
Ada sensasi geli yang Monk rasakan saat mengatakannya.
Ah, perasaan ini...
Perasaan puas! Jadi begini rasanya berada di puncak rantai makanan?
Ya, membunuh sesama binatang tidaklah salah bukan?
YOU ARE READING
Monk Monk
General FictionMonk, kelinci kecil; penghuni negara baru, dan Foc, yang menjadi temannya.
