Setelah melukis warna paling bengis di mukanya, Man Rusli mengangkat wajah dan siap memberitahu Imam Ilyas betapa saat ini Man Rusli ingin sekali membunuhnya.

"Maaf, harusnya tidak berakhir seperti ini." Ucap Pak Imam sendu.

Jika ini adalah serangan balasan, maka Man Rusli sudah kalah. Ia tidak bisa menusukkan kebencian pada Pak Imam sementara Pak Imam menerimanya dengan suka rela, dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Bajingan!" Jeritan Man Rusli menggema ke seluruh ruangan. Dia selalu berbisik tentang bagaimana misteriusnya gudang itu dari luar, sekarang Ia harus berteriak tentang bagaimana mengerikannya gudang itu dari dalam.

"Ya! Saya sudah bajingan sejak awal. Tidak perlu berteriak, karena setiap hari kata itu selalu saya bisikkan  pada diri sendiri." Sahut Pak Imam.

Man Rusli kembali menundukkan wajah. Ia tidak mungkin mengeluarkan kebenciannya secara utuh jika Pak Imam masih bersikap begitu.

"Kasih tahu Saya. Benarkah Kamu yang membunuh ketiga juru kunci? Kamu juga dalang dibalik kuburan – kuburan illegal di kampung ini? " Tanya Man Rusli.

"Kami membunuh ketiganya, ya! Kurang lebih. Tapi kami tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas makam – makam tersebut."

"Berhenti menggunakan kata – kata Kami! Kamu dalangnya, kamu yang mengatur semuanya. Kamu pantas di kubur dengan cara yang lebih buruk dari jenazah – jenazah itu!"

Pak Imam diam. Parman dan dua orang lainnya juga diam. Mengerikan bagi Man Rusli. Bagaimana Ia dikelilingi empat orang pembunuh, terancam akan dibunuh tapi keempatnya justru memasang wajah Iba. Tidak terlihat memang, tapi seolah ada rasa hormat mereka pada Man Rusli yang tidak mampu disembunyikan lagi.

"Kenapa?" Tanya Man Rusli. "Kenapa Kalian melakukan ini? Apa salah ketiga juru kunci pada kalian?"

"Mereka berniat memutuskan kerja sama secara sepihak. Kerja sama yang sudah dibangun bertahun – tahun lalu kemudian ingin mereka rusak." Jawab Pak Imam.

Merasa terlalu banyak bicara, Parman memberi isyarat agar tidak membocorkan lebih jauh dari itu. Tapi Pak Imam tidak mau berhenti. Man Rusli harus tahu semuanya sebelum mati.

"Lihat itu!" Pak Imam menunjuk tumpukan karung bekas pakan udang di belakang Man Rusli. Baru Man Rusli sadari ada banyak lubang sebesar jari telunjuk orang dewasa hampir di seluruh karung. Ia juga dapat melihat bahwa isinya bukan lagi pakan udang, melainkan pasir pantai.

"Sampean sedang duduk di tempat eksekusi para anggota peluru bayangan. Penjaga lawang jerit, penembak misterius, penjaga perbatasan dan segala gelar yang kalian sematkan pada kami."

Sekarang Man Rusli sadar seberapa jauh dirinya telah mencampuri urusan pemangsa terbesar di Timur. Gudang ini tidak lebih dari lubang buaya kecil yang tertutup oleh sandiwara besar. Tidak pernah terlihat karena digali oleh orang – orang besar, dan saat ada orang yang tanpa sengaja terjatuh ke dalam, yang bisa keluar hanyalah batu nisannya; tanpa nama.

Man Rusli bungkam. Mempertanyakan kemana perginya keberanian untuk berteriak dan menyuarakan ketidak adilan tadi? Hilang sudah, berganti keringat dingin yang jumlahnya jauh lebih banyak dari sisa umurnya.

"Neng Yayuk, Neng Uli, Neng Ulfa, pernahkah Kamu pikirkan perasaan mereka?" Tanya Man Rusli. Suaranya bergetar karena pengaruh emosi yang kuat. Ia tidak bisa tenang membayangkan betapa terlukanya ketiga putri Imam Ilyas jika mereka melihat apa yang sudah Bapaknya perbuat.

"Sampean pikir, Kami melakukan ini semua untuk siapa?" Pak Imam bertanya. "Memang masa lalu kami berbeda dengan Sampean dan kebanyakan penduduk desa. Tapi jika ada kesempatan untuk memiliki masa depan seperti kalian, maka sekecil dan se busuk apapun Kami akan melaluinya." 

Pak Imam tidak main - main dengan ucapannya. Walaupun terdengar sebagai pembenaran, tapi wajah Imam Ilyas dan anak buahnya saat itu adalah sebuah kejujuran. Saat ini nyawa Man Rusli ada di tangan mereka, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa nyawa mereka ada di tangan orang yang lebih kuat, yang sewaktu - waktu bisa mencabutnya.

Tiba – tiba pintu gudang terbuka. Seorang tidak dikenal datang membawa tiga orang yang kepalanya tertutup kain hitam. Man Rusli tidak terlalu peduli tentang siapa yang ada di balik kain hitam itu, Ia hanya penasaran pada siapa orang yang membawanya.

"Apa – apaan ini Dan?" Tanya Parman pada Hamdani,  pria yang menyeret orang – orang tadi seperti sampah.

"Saya temukan orang – orang ini sedang mengintip di luar. Sayangnya satu orang lagi kabur." Jawab Hamdani.

"Dan Kamu biarkan begitu saja?!" Protes rekan – rekannya.

"Setidaknya Saya berhasil meringkus tiga tikus ini! Tinggal Tanya saja siapa bos mereka dan kita akan datangi rumahnya. Sama seperti waktu itu." Jawab Hamdani.

Ia memaksa ketiga hasil tangkapannya berbaris sejajar dengan Man Rusli. Kemudian melemparkan sebuah tas kain ke lantai di depan Man Rusli, hingga isinya berserakan. Sebuah Walkie Talkie, Kamera, gunting, tang dan peralatan lain yang diduga digunakan untuk menyusup; lebih tepatnya memata – matai gudang.

"Buka!" Seru Pak Imam.

"Hah, Serius? Gimana sama wajahmu?" Tanya Hamdani.

"Percuma menutup matanya, mereka sudah tahu siapa Saya."

Dengan sangat kasar, dibukalah penutup kepala tiga orang tersebut. Tidak ada wajah yang cukup berpengaruh selain ketiganya yang dikenali sebagai petugas di Kantor Desa. "Saya pernah melihat mereka saat ikut rapat kemarin," Ujar Pak Imam.

"Masih tidak menyangka Kamu diundang di rapat seperti itu."

"Gamar ingin melihat reaksi Saya saat para juru kunci memutuskan membuka kembali keempat pemakamannya. Kepala Desa ini, selicik itu."

"Cuih! Tidak percaya omongan itu keluar dari mulut orang yang jauh lebih licik!"

BRUAK!

Hamdani memukul salah satu kepala tangkapannya. Penghinaan semacam itu tidak boleh dibiarkan, atau mereka akan kehilangan wibawanya.

"Tahan emosimu!" Seru Pak Imam.

Apa yang sudah Man Rusli lihat, semua yang sudah Man Rusli dengar, membuatnya merasa menjadi orang paling bodoh di desa. Bagaimana bisa Ia tidak mengendus kebusukan yang hampir menggorogoti desanya. Pak Imam beserta sisi gelapnya, Pak Gamar beserta ambisinya yang sampai saat ini masih belum bisa Man Rusli terka.

"Saya akan ke pemakaman. Pastikan orang – orang ini tetap hidup sampai Saya kembali." Ujar Pak Imam.

Man Rusli hanya bisa melihat. Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Imam Ilyas yang dikenalnya pergi bersama kepribadian palsunya selama ini. Sempat sebelum keluar dari gudang, Pak Imam membawa tas hijau gelapnya. Tanpa bertanya dan menerka – nerka, Man Rusli bisa tahu dari panjangnya. Siapa yang akan Pak Imam buru, sementara hampir semuanya sudah habis Ia mangsa.

BARISAN KERANDA MERAHWhere stories live. Discover now