LIX ON PROGRAM (1)

Start from the beginning
                                        

...dia menjadi setengah Lix-mu."

Aku menatapnya dengan lebih terkejut. Mungkinkah pemilik darah ini adalah bocah itu? Mungkinkah dia yang datang ke mimpiku semalam? Ataukah dia bukan hanya sekedar mimpi?



"Sekarang, berterima kasihlah padaku!!" serunya membuatku terkejut. Aku memejamkan kedua mataku, dan berpaling dari pandangannya.

"Tidakkah kau mengerti betapa susahnya mengundang bocah itu?!! Tidakkah kau mengerti?!!"

Aku menahan emosi karena seruannya dengan sabar. Dia mengatakan semua seruan itu seakan sebuah cacian untukku. Dan aku mencoba membuka kedua mataku untuk bisa menatap lelaki itu dengan tajam, berusaha melawannya dengan tatapan dinginku. Namun, bukannya segera berpaling setelah membuka mata, aku malah berhenti menatap sesuatu yang janggal di tubuh lelaki ini.

Tangannya tertutup sarung kulit.

Sarung hitam itu menutupi setengah bagian tangannya, tanpa menutup di kelima jarinya. Aku baru melihatnya mengenakan sarung ini, apakah ada yang salah dengannya?


"Cepat berterima......"

"Kenapa kau mengenakan sarung itu?"

Lelaki itu terdiam dan langsung mengikuti arah pandangku. Dia melihat apa yang kulihat, dan langsung mereda dari emosinya. Dia menghembuskan napas lelah, dan menjawab dengan lebih ringan.

"Oh, itu. Itu karena a...."






BRUAKK!!!

Aku segera mendorong tubuhnya hingga terjungkal ke belakang. Segera kuangkat tubuhku yang sedikit limbung ini untuk berdiri. Aku mencoba untuk segera berlari dan menghindari lelaki itu. Namun, langkahku terhenti dengan cekalan seseorang di pergelangan kakiku. Aku jatuh tersandung dan menimbulkan suara yang memilukan. Kulihat ke belakang dan mendapati lelaki itu menggenggam pergelangan kakiku dengan erat. Aku menghentakkannya berulang kali, berusaha melepaskan diri secara paksa.

"Berterima kasihlah dulu, baru kulepaskan!!!"

Aku kembali menghentakkan kakiku, dan kutendang wajahnya dengan keras, cukup keras untuk bisa meremukkan tulang hidungnya. Dan benar saja, kudengar suara retak yang menambah kecepatan detak jantungku. Lelaki itu berteriak kesakitan dan melepaskan kakiku untuk memperbaiki posisi tulang hidungnya yang sepertinya bergeser. Aku tidak melewatkan kesempatan itu untuk kabur. Kudengar erangan kesakitannya di belakangku. Dia berguling-guling, berusaha menahan dirinya untuk tidak merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Dia berusaha mengembalikan posisi tulang hidungnya dengan cepat. Kudengar suara retak yang memilukan, yang meyakinkanku bahwa posisi tulang hidungnya sudah kembali normal. Mendengar hal itu, aku merasakan sesuatu yang mengganjal dalam diriku. Dadaku seakan sesak dengan peristiwa itu. Hanya satu perasaan yang kutahu saat itu mustahil kuungkapkan.

Aku merasa bersalah.












Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi, dan kututup pintunya dengan keras. Aku bersandar menahan pintu, menghalangi lelaki itu untuk keluar. Namun, tidak ada reaksi apapun dari lelaki di dalam sana, kecuali kesunyian yang ditimbulkannya.


"Hei! Kau kenapa?!"

Aku terkejut saat Gale datang. Raut wajahnya yang khawatir itu menatapku. Dia meminta penjelasan padaku tentang apa yang terjadi, membuatku semakin lelah dan tidak bisa lagi menahan diriku untuk pergi. Akupun berjalan pergi dari kamar mandi itu, meninggalkan lelaki itu di dalam sana tanpa peduli dengan pertanyaan Gale yang membuat kepalaku pusing.
.
.
.
.
.
Kami berjalan beriringan, tanpa peduli dengan pikiran masing-masing yang melayang entah kemana. Sepanjang jalan menuju ke ruang pelatihan, kami berdua terdiam. Bukan ragu untuk berbicara, hanya saja, tidak ada satupun topik yang cocok untuk dibicarakan. Ingin rasanya aku bercerita panjang lebar tentang semua yang ada disini, mencoba bersikap seperti gadis normal yang cerewet. Tapi, sesak dalam dadaku menahan setiap kata yang akan kuucapkan, merenggut setiap momen indah yang seharusnya kujalani. Aku tidak terbiasa dengan banyak kata, karena pertumbuhanku yang kebanyakan diliputi diam seribu bahasa, tidak mudah percaya dengan orang lain. Kebanyakan hariku diisi dengan kebisuan. Meskipun dulu, Danny selalu berusaha membuatku menjadi gadis normal, sejak malam trauma itu, aku seakan berhenti bicara banyak, dan lebih memilih diam dalam segala hal. Aku akan bergerak jika memang itu diperlukan, itu saja tanpa kata basa-basi yang panjang lebar. Dan sejak malam trauma itu, aku menjadi seperti bukan diriku, seakan bagian keceriaanku sebelumnya, lenyap begitu saja ditelan kenangan yang hilang selama setahun itu.

"Vrass!" aku segera mencari sumber suara itu, dan mendapati Mel yang sudah mengenakan jaket tebalnya, tanpa mengenakan jas labnya. Entah apakah masih sedingin itu udara disini, sehingga membuat semua orang disini masih berpakaian tebal. Kami melangkah lebih dekat, dan berdiri menghadap Mel.

"Kuharap kau sudah mempersiapkan hal ini." ucapnya langsung menatap Gale untuk segera pergi meninggalkan diriku yang merupakan tugas utamanya.

"Aku akan masuk duluan. Kau masuklah jika sudah siap. Danny sudah menunggumu di dalam."

Danny.

"Haruskah dia yang menjadi Lix-ku? Tidak bisakah kita mengganti orangnya, menunggu kecocokan?" tanyaku sedikit tidak nyaman.

"Tidak bisa. Program ini sudah ditentukan sejak awal. Lagipula, Lix bukan hanya dinilai dari kecocokan hasilnya, tapi juga dari kecocokan prosesnya.

Aku masuk dulu!" serunya segera melangkah masuk, meninggalkanku yang bimbang dengan pilihan mereka tentang Lix-ku. Aku berpikir sejenak diluar, sebelum akhirnya kuberanikan diriku untuk masuk.

Ruang pelatihanku sama seperti milik Jacob, hanya saja, suhu disini lebih dingin, mengusahakan menyamai suhuku. Memang tidak terlalu meyakinkan untuk melakukan penyatuan Lix disini. Tapi, ketahuilah bahwa penyatuan Lix tidak sesulit mengubah diriku. Seorang Lix hanya diciptakan sekali seumur hidup untuk seekor MOD. Jika sang Lix mati, sang MOD akan hidup sendiri dengan jiwa Lix itu mendampinginya. Jika seekor MOD tidak menemukan Lix-nya, atau tidak memiliki kecocokan dengan Lix pilihannya, MOD itu akan menggila dan mati, membunuh Lix yang sudah menyatu dengannya. Seorang Lix dipilih tidak secara sembarangan. Seekor MOD harus pintar dalam memilih Lix. Biasanya, Lix dipilih karena keberanian, kekuatan, kepandaian, atau bisa juga karena hati. Dan memilih dengan perasaan adalah cara yang paling dominan.

Untuk kali ini, Lix-ku dipilih karena pilihan orang-orang disini, bukan karena pilihanku. Memang benar jika Danny hidup bersamaku selama beberapa tahun belakangan, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa dia tidak cocok denganku.

Karena dekat bukan terus berarti cocok.












"Dan apakah kau masih memilih bocah itu sebagai Lix-mu?"

Aku melihat siapa yang berbicara seperti itu padaku. Ingin rasanya aku memukul wajah kokoh itu, membuatnya rusak dan tidak mampu lagi melontarkan kata-kata menghina padaku. Aku menatapnya kesal, dan berusaha tenang untuk menghindari perkelahian yang tidak dia inginkan.

"Jujur, aku memang tidak terlalu suka dengan pilihan ini, tapi, mereka sudah berbaik hati padaku selama 2,5 tahun ini. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan mereka, meskipun aku tahu resikonya cukup besar jika sampai kita tidak cocok."

Kita?

"Maaf aku tidak bisa mencarikan informasi tentang bocah itu untukmu. Identitasnya sangat rahasia, dan aku tidak bisa mencari informasi se-rahasia itu. Kedudukanku tidak terlalu tinggi disini, hanya seorang prajurit biasa.

Akan kuusahakan untuk menolaknya nanti. Aku tidak akan membiarkan mereka merenggut nyawamu hanya karena penyatuan ini.

Tapi, kupikir harus ada syaratnya."

Lagi?

Aku mencoba menguatkan diriku saat jarak antara diriku dan Danny semakin tipis. Dirinya melangkah semakin mendekatiku, membuat jantungku berdetak semakin cepat. Napasku tertahan, mencoba untuk tidak bergerak jika saja dia benar-benar mengancamku. Kurasakan deru napasnya menghembus ke wajahku. Tatapan kedua mata hijau tuanya tajam, lurus berhadapan denganku.

Kurasakan sebuah sentuhan hangat yang kubenci. Danny mengangkat tangannya ke wajahku, dan membelai pipiku dengan lembut. Ingin rasanya aku menangis atau berteriak, menjauhkannya dariku dengan sikapku yang tiba-tiba. Tapi, jika kulakukan itu, sama saja aku seperti seorang pengecut. Jadi, terjebaklah aku dalam situasi yang sulit ini, bersama Danny.....


.....calon Lix-ku.

>>>MT<<<

Maaf, semua, Raf harus hiatus dulu, hehe. Kerepotan di setiap sudut...😅😅 Semoga kalian masih suka,😋

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 30, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MESS TROUBLEWhere stories live. Discover now