Lagi-lagi Sujana

247 25 0
                                    

Tiga bocah SMP kelas delapan itu telah menghabiskan setidaknya seperempat waktu belajar mereka dengan tertawa terkial-kial. Segera setelah mereka masuk ke dalam balai, berkelit dari terpaan napas malam yang dingin, konferensi langsung dimulai. Komang Adi memulai presentasi game ponsel yang baru saja diunduhnya dan mengisahkan bagaimana dia mematuk-matukkan jemarinya untuk menembak mati musuh. Putu Yasa lain lagi. Anak bertubuh gempal itu telah menghabiskan hampir semangkuk besar kue kelepon hijau buatan ibu Made sejak dia dijamu. Segera setelah Putu Yasa memasukkan dua butir kelepon hangat ke dalam mulutnya, bagai memasukkan koin ke dalam mainan time zone, dia mulai memenuhi rumah itu dengan celoteh mondar-mandir ala anak SMP,—dari masalah pelajaran, perangai guru-guru, teman yang aneh, hingga pacaran. Semakin banyak kelepon yang masuk ke dalam mulutnya, semakin banyak kosa kata yang dia rapalkan. Di menit berikutnya, saat telinga Komang Adi sudah jemu, dia mengangkat mangkok itu dan menyeretnya menjauh. Itu berhasil menghentikan asupan bahan bakar ke mulut Putu Yasa.

"Bocah-bocah itu," Darsana menggerutu sambil mengaduk adonan kue di dapur. Dari tadi kupingnya risih dengan gemuruh cekikikan yang datang dari balai. "Ingin belajar atau tidak, sih, mereka!"

"Itu kalimat yang ibumu lontarkan sebelas tahun yang lalu," pangkas ibunya dengan tenang. Dia memeras daun-daun kayu sugih untuk mengambil warna hijau muda yang gurih. "Rupanya sekarang kamu mengerti mengapa Meme dulu mengatakannya."

Darsana tersipu. Umur yang terpaut sebelas tahun dengan adiknya mungkin cukup membuatnya lupa bahwa dia dulu tak jauh berbeda. Hanya anak SMP kurang waras yang akan tetap diam membatu ketika berkumpul bersama teman-teman akrab. Tak ada yang lebih menyenangkan selain membicarakan topik tak berujung-pangkal ditemani semangkuk besar kue atau kacang tanah rebus,—sambil duduk lesehan dikelilingi buku-buku sekolah dan alat-alat tulis.

"Kamu dan Witarsih apa tidak ngelantur juga kalau kalian bertemu?" pancing ibunya. Titik pikirannya tetap mantap pada aliran sari daun hijau yang tengah mengucur, melumuri gumpalan besar adonan tepung beras yang lembut dalam baskom.

"Meme ada-ada saja," Darsana mengelak. Tangannya lagas mengangkat periuk berisi air lalu diletakkannya di atas sebuah kompor. "Dia gadis pendiam. Saya tak pernah berdebat dengannya," seusai berkata demikian, dia mengintip celah kompor dan memutar pemantik api. Api biru menggelepar jinak, mendesis memanasi dasar periuk yang menghitam.

"Oh, jangan salah sangka," tukas ibunya. Dia melempar daun-daun yang sudah diperas ke tempat sampah jauh di seberang ruangan. Buntalan dedaunan yang telah habis hijaunya itu masuk tepat ke dalam tempat sampah. Wanita itu tersenyum puas melihat lemparan sempurna itu. "Walaupun pendiam, dia gadis yang pandai. Dia tak pernah bicara yang tidak penting. Dia bisa diandalkan dalam situasi gawat."

Darsana duduk di hadapan ibunya, menghadap adonan kue yang siap diubah wujudnya menjadi ratusan bulatan pipih. Itu bakal menjadi pekerjaan fisik yang menyenangkan.

"Apa Meme menyukainya?" dia bertanya.

"Maksudmu?" ibunya menciutkan alis. "Dia akan menjadi istrimu, Wayan; bukan pembantuku."

Muka Darsana mendadak korsleting. Dia memperbaiki kata-katanya, "Maksud saya,—apa Meme tidak keberatan?"

Ibunya geleng-geleng. Kepalanya terserap dalam keheranan. Itu pertanyaan ala hakim yang sedang memutuskan perkara dengan cara-cara mekanik yang hitam-putih. Pedagang kue semacam dirinya benar-benar tidak menyukai hal-hal hitam-putih yang strik.

"Asalkan dia bisa menjadi kawan sejati dalam hidupmu, maka dia juga bisa menjadi kawan baik bagi ibumu."

Tersenyum Darsana mendengarnya.

Ibunya sibuk lagi menyusun kue di dalam panci besar dengan uap yang mengepul.

"Saya mau lihat Made," itu sebuah permohonan izin dari Darsana, tetapi kalimat selanjutnya bernada sebuah peringatan halus. "Biar saya yang mencuci semua perabot itu nanti."

Putih BiruWhere stories live. Discover now