1. Dia yang kembali

32K 1.6K 139
                                    

Mutiara Riana Widjadmoko bisa merasakan udara segar pagi dalam mimpinya. Apa yang sudah lama tidak bisa dia nikmati karena kesibukan yang kerap membuatnya pergi sebelum Shubuh atau baru pulang justru setelah lewat tengah malam.

Dia kebetulan sedang cuti kerja karena urusan keluarga. Sibuk mempersiapkan lamaran yang harus dia tangani karena dipaksa dan terpaksa—sebagai satu-satunya anak Yugha Widjadmoko—harus mengurusi keperluan ayahnya yang ingin kembali menikah setelah lebih dari duapuluh lima tahun menduda.

Bahkan dalam keadaan belum sepenuhnya bangun Tiara bisa mengingat jelas apa yang harus dia lakukan. Menghubungi seluruh keluarga Widjadmoko, pergi ke butik untuk mengambil gaun dan beskap untuk Papanya, juga menghubungi Ano—anaknya—yang masih berada di Kyoto.

Dia mengerang, kepalanya pusing dan sensasi lapar menguncang otot-otot perutnya karena aroma menyenangkan yang dia rasakan lewat inderanya. Manis karamel yang bercampur dengan aroma lezat butter dan rasa segar apel yang sangat identik dengan aroma penganan favoritnya, Tarte Tatin.

Tapi masalahnya hanya satu orang saja yang tahu dia mengubah kesukaannya dari sepotong pai nenas ke tar apel basah itu, lelaki sumber penyakit di jiwanya selama hampir tujuh belas tahun.

Lelaki yang ada jauh di Manhattan dan hanya mengunjunginya dua kali dalam setahun.

Suara benda ditaruh pada nakas membuatnya membuka mata dengan terpaksa. Asap yang mengepul dari cangkir menguarkan aroma mocchalate panas yang luar biasa. Lalu satu kecupan mendarat tepat di dahinya dari bibir liat seseorang. Mutiara menahan nafas dengan mata membelalak lebar, pikirannya sudah terbangun sepenuhnya.

“Evan!”  Mutiara menyebut nama itu sambil berbalik menghadap ke asal suara. Dia tak bisa lebih kaget lagi saat menemukan pria itu duduk di tepian ranjang sambil menatap ke arahnya dengan sorot mata lembut yang sangat khas.

“Sweetheart Aiyang,” bibir itu seakan sangat terbiasa mengucapkan panggilan mesra tetapi memiliki kesan mengejek itu pada sang istri. “Holy Hell,” menggaruk pelipis sambil mendesah panjang Evan memindai tubuh istrinya sesuka hati. “Apa kamu selalu secantik ini tiap bangun tidur?”

Mengabaikan rayuan sesat Evan, Tiara langsung menodong suaminya dengan pertanyaan. “Ngapain kamu di sini?”

“Karena aku kangen kamu, nggak tahu ya?”

“Bukan itu maksud aku Evaaan .... aku tanya, kenapa kamu bisa ada di sini sekarang, bukannya di Manhattan?”

“Uhm!” lagi-lagi Evan menggaruk pelipisnya, lalu dengan cuek dia mengambil tempat berbaring pada sisi kosong di sebelah Tiara, mencegah wanita itu kabur dengan menjepitkan kakinya pada kaki istrinya kemudian bergerak keatas sampai sepenuhnya dia menindih tubuh Tiara. Satu-satunya cara untuk memberitahukan apa yang dia mau pada istrinya itu.

“Evan!! Lepasin.” Tiara mulai panik, seketika wajahnya merona saat merasakan sesuatu yang keras menyentuh pangkal pahanya.

“Kerasaan kan? Aku kangen sama kamu, seharusnya kamu bisa bersikap lebih hangat pada Suami yang baru tiba ini, Ai.”

Tiara memejamkan mata untuk menghalau pengetahuannya akan gairah Evan diantara sela pahanya. Tapi saat Evan kembali menekankan tubuh padanya dia justru mengerang. Sungguh bukan suatu sikap yang bijak.

“Lima detik,” Evan tertawa seraya terus menciumi leher jenjang istrinya dengan penuh kelembutan, “tampaknya tingkat kepedulianmu pada suamimu ini semakin baik.”

Bagi Tiara itu terdengar bagai sebuah hinaan, dan karenanya dia bergerak hendak mendorong kepala Evan tapi dengan tangkas pria itu justru menangkap pergelangan Tiara,  memegang kuat-kuat dan menambahkan siksaan lain dengan cara menciumi kulit tipis di lengan bagian dalam istrinya itu.

Playboy Monarki The Series - THE STUNTMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang