9 : Kembali :

44.3K 7.2K 333
                                    

9

: k e m b a l i :


2005



Sebagaimana ada pertemuan, ada pula perpisahan yang tak terelak.

Sehari setelah Tahun Baru mereka habiskan dengan jalan-jalan ke sekeliling kota. Keesokannya mereka pulang. Aksel hanya mematuk-matuk tangannya di kepala Virga dengan gemas sambil tersenyum saat berpisah dengan gadis itu. "Gue balik ke Jakarta ya, Cil. Jaga diri Pacil baik-baik."

Kali itu, Virga tak lagi merasa heran dengan kelakuan random Aksel. Dadanya justru terasa hangat, merasa ini adalah bentuk afeksi Aksel. Dia pun menyunggingkan senyum. "Iya, Kak. Kak Aksel hati-hati juga di jalan."

Aksel tersenyum, mengganti patukan tangannya jadi mengelus kepala Virga, lalu mendekapnya dan menepuk-nepuk punggung gadis kecil itu. "Pacil kuat. Apa pun masalah yang nanti Pacil hadapi, Pacil pasti kuat."

Sesaat, Virga terpejam dan menikmati hangat rengkuhan Aksel. Rasanya semua begitu aman. Rasanya dia seolah tak memiliki beban. Atau, semua masalah terasa akan teratasi semua. Virga pun mengangguk. "Makasih buat semuanya, Kak Aksel."

Senyum lembut merambat di bibir Aksel. Refleks, dia mengeratkan pelukan dan menenggelamkan lagi wajahnya di rambut Virga. Tubuhnya mendadak merasa tenang. Dia bisa menangkap aroma buah melon dari rambut gadis itu, dan juga wangi bedak bayi di tubuh Virga.

Kemudian, tubuh Aksel menegang dan matanya membola.

Hah? Bedak bayi?

Sontak, Aksel melepaskan pelukan. Membuat Virga agak kaget. Dia segera tersenyum untuk mengurangi kecanggungan. "Sori, tadi ada tawon lewat. Sekarang udah nggak ada, kok," kilah Aksel, cengengesan. Dia mengangguk tengkuknya sambil tertawa kering.

Virga mengerjap, lalu mengangguk paham.

Sementara dalam benak Aksel sudah banjir berbagai pikiran. Bedak bayi. Virga. Dan apa yang telah dia lakukan dari kemarin itu baru disadari oleh Aksel.

Demi Tuhan, dia masih SD, anjir, lo sebenarnya mau ngapain, Sel? pikir Aksel, ingin memaki dirinya sendiri.

Aksel pun berpamitan dengan nenek Virga dan Tasha. Di kala menunggu temannya memasukkan barang di mobil untuk dibawa ke bandara, Aksel menatap ke arah rumah Virga sekali lagi, dan memandang gadis kecil yang kini duduk di tangga rumah sambil memangku dagu dengan kedua tangannya. Aksel menelan ludah, masih mengingat betapa tenang dirinya kala memeluk gadis itu. Betapa dia merasa sangat betah merengkuh Virga. Harusnya ini tak perlu membuatnya merasa terganggu. Virga hanya anak kecil. Harusnya dia merasa wajar merasakan afeksi seperti ini. Seperti abang kepada adik perempuannya. Ya, pasti itu. Gue cuma sayang karena dia kayak adik perempuan yang mau gue lindungin, batin Aksel.

Menoleh lagi untuk kali terakhir ke arah Virga, Aksel pun menahan dirinya untuk tidak memeluk gadis itu lagi, dan segera naik ke mobil. Semua barang dan rombongan Hizraka sudah masuk. Mobil pun melaju. Dan Aksel berbalik lagi untuk melihat Virga dari kaca mobil. Ingin memastikan bahwa Virga baik-baik saja. Bahwa meskipun dia meninggalkan Virga, gadis itu akan tetap kuat.

Ketika mobil sudah melaju jauh hingga rumah Virga hanya terlihat setitik dari pandangan Aksel, lelaki itu baru berbalik badan, mengempaskan tubuh di jok belakang mobil.

Raka yang melihat Aksel dari spion depan pun bertanya santai, "Senang ya, Sel, dapat adik baru? Dari dulu mau punya adik perempuan, tho?"

Aksel terdiam. Inilah yang kadang muncul di benakanya. Benarkah dia menginginkan adik? Padahal tidak, dia tak pernah menginginkan punya adik atau saudara lagi. Dia juga tak pernah mau punya adik-adikkan perempuan. Biasa saja. Karena itulah selama seminggu di sini, dia tak mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan. Namun akhirnya, Aksel hanya membalas, "Iya, Om. Mama sama papa saya juga nggak mau bikinin lagi, sih."

Deklasifikasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang