I

7.6K 715 63
                                    

Desire Can't Talk To The Wind

Angin musim gugur pertengahan tahun, semilir,  mengangkut dedaunan kering. Menerbangkan debu-debu jalanan yang tercerai berai. Terurai airmata pedih saat debu berhamburan. Bukan karena debu. Bukan karena pedih. Airmata bercucuran menganak sungai membanjiri pipi gembil, putih, mulus, seorang pemuda. Angin musim gugur mengiringi langkah gontainya menyusuri trotoar yang lengang.

Pikirannya membayang pada potongan kejadian di masa silam,  beberapa waktu yang lalu.

Aku tidak apa-apa Hyung, aku baik-baik saja,”

Suaranya sendiri masih terngiang di telinga. Beberapa waktu lampau sebelum ia bergentayangan di pinggir jalan protokol seorang diri.

Tidak, kau sama sekali tidak terlihat baik,”

Suara lain seseorang yang menemaninya saat itu. Saat dimana airmatanya masih terpendam jauh di dasar rongga mata.

“Kita sudah menjalaninya cukup lama. Dan selama itu aku baik-baik saja, kita baik-baik saja hyung, jadi apa masalahnya?” Balasnya.

Dengan senyum, oktaf rendah, dan juga tanpa getaran dalam suara. Ia mencoba tenang. Ia mencoba tegar dan menepis hal-hal negatif dari pikirannya.

Aku tidak ingin berbuat lebih jahat lagi pada mu, aku tidak sanggup menyakitimu lebih dalam lagi,”

Tidak Hyung! aku tahu kau sangat mencintai ku, kita saling mencintai, aku tak merasa kau menjahatiku, bahkan sejak naik altar hingga sampai detik ini, perasaan ku tak berubah pada mu,”

Kau, itulah yang membuatku tak bisa bersama mu, aku tak bisa mengimbangi kasih sayang mu pada ku, aku mencintai mu Kook, untuk itulah mari kita--,”

Grebb

Sebuah pelukan melayang, menghantam tubuh yang tergetar.
Menghentikan perdebatan keduanya dalam hening yang hambar.
Kurang lebih sebulan yang lalu, awal dari perpisahan menyakitkan itu.

Kembali ke pada kenyataan, melupakan kilasan masa lalu.
Airmata lagi-lagi lolos, mengalir, menetes tanpa permisi dari netra bulat namja itu.

Hhooekk

Mual, isi perutnya bergejolak. Ia mual untuk yang kesekian kalinya. Mual disela-sela tangisnya yang tak kunjung terhenti.

Hhooeekk

Sudah tak tertahankan. Mungkin karena terlalu stress. Pemuda itu berbelok ke sebuah taman, memenggal langkahnya dan beristirahat sejenak. Dengan ujung lengan jaket abu nya, ia menghapus sendiri bekas lelehan airmata dipipi.

Tak terdeteksi lagi airmata apa yang keluar dari kedua netranya. Pedih karena debu jalanan kah, pedih karena hatinya serasa tersayat, ataukah nyeri dari dalam rongga perutnya yang isinya merangsek memaksa untuk dikeluarkan.

Hhooeekk hhooeekk

Uuhuuk!!

Eommaa

Hiks…

Tak ada sesuatu yang keluar kecuali lendir dari rongga mulutnya. Apa yang bisa ia keluarkan jika sejak semalam perutnya dalam keadaan kosong. Sejak semalam ia menunggu dalam diam. Kedatangan seseorang yang ia harapkan.

Hidangan bermacam-macam terbengkalai di meja. Tak menggugah selera untuk disantap sendirian. Tapi yang dinanti tak juga memunculkan diri. Hingga pagi tadi, akhirnya pintu apartemen itu terbuka dari luar. Seseorang muncul dan seseorang lagi tersenyum bahagia menyambutnya.

Malam tadi,  di apartemen namja yang masih berstatus 'suami'  nya.

Hyuung,” Akhirnya ia tersenyum, setelah malamnya kelabu.

Ia memekik bahagia dan beranjak dari ketermenungannya semalam suntuk. Tercetak samar lingkar hitam di kedua matanya. Yang memandang, tak pedulikan keadaan itu.

Sudah hampir sebulan sejak perdebatan terakhir mereka terpenggal. Kini, orang itu menghubunginya lagi, datang padanya, ia berharap kali ini untuk kembali, selamanya ke dalam pelukannya. Karena ia yakin, ia adalah rumahnya untuk kembali. Tapi kenyataan tak lagi sama.

“Kita cerai,”

Deg!!

Singkat,  padat,  menyakitkan

Pedih, sakit, hancur

Hanya itu yang tersisa dalam rongga hatinya

Senyum

Tersenyum

Senyuman yang manis, semanis yang bisa ia lakukan. Hanya itu kekuatan terakhirnya

Ingatan itu masih melekat erat dalam benaknya. Tak ada hasrat untuk menghapus. Sekalipun hanya sakit terasa, tapi orang terkasih ada dalam memori kejadian itu. Seseorang yang ia dambakan kehangatannya, seseorang yang masih bertahta dalam hatinya sekalipun orang itu hanya menyisakan luka.

Kembali pada kenyataan. Ia jatuh terkulai bersandar bangku taman yang dingin. Telinganya berdengung sakit, setelah sekian kali muntah tak berisi. Kepalanya pening dan pandangan memburam. Tubuhnya lemas tanpa tenaga. Ia kehilangan kesadaran di tengah taman yang sepi, senja sore ini.

“Hyuung, ku mohon jangan tinggalkan aku seperti ini, hanya kau yang ku punya,”

Suara hatinya yang tak sempat lolos. Melolong tanpa frekuensi. Tak terdengar tak terdeteksi. Rintihan pedih menyayat hati. Hanya tertinggal dalam relung kalbunya yang gelap dan sunyi.

Dunia mengabaikannya, membiarkannya dalam nestapa seorang diri. Tanpa keluarga, tanpa yang terkasih, bahkan tanpa orang asing yang seharusnya ada di taman sore itu.

Tapi Tuhan melihatnya dari atas langit. Tuhan menyaksikan duka nya dari singgasana Agung-NYA. Tuhan mendengar keluh kesahnya. Jangan lupa, ia masih punya Tuhan. Dan Tuhan masih sangat sayang padanya.

Bahkan ada titipan Tuhan dalam tubuhnya sekarang tanpa ia sadari. Sangat Tidak mungkin jika Tuhan akan berpaling darinya. Karena jauh dalam hati kecilnya, masih ada Tuhan bersemayam di sana.

Semilir angin senja sore itu,  menemaninya menyisir luka.  Menemaninya dalam kesendirian.  Angin senja sore itu,  hanya bisa menyamarkan pedih dalam hatinya.  Ia pasrah pada yang menciptakan dirinya.  Memasrahkan setelah merasa tak ada lagi pijakan tenang di muka bumi ini.

Angin senja sore itu tak lagi mampu menyampaikan rasa rindu dalam kalbunya pada yang terkasih.



Sekian. 😁

Dan bersambung 😅

[ 21/10/2017 ]

Desire Can't Talk to The WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang