Ini bukanlah pertunjukanku yang pertama, atau ke dua atau ke tiga. Meski tak hapal wajah setiap para penonton yang hadir, tapi aku mengenal beberapa di antara mereka. Yang memberiku bunga kesukaanku.
Gaun yang kukenakan merupakan gaun pemberian Aviel. Ia memesan pada Adelaide bulan lalu. Ada dua belas mutiara merah muda di bagian dada. Memanjang dari kanan ke kiri. Ada sebuah mawar merah di bagian dada kiriku, tak besar tapi terlihat anggun di sana.
Sepatu balet ini kado ulang tahunku darinya, pria tiga puluh tujuh tahun yang mencintaiku sama gilanya dengan caraku mencintai dunia balet. Sepatu balet yang talinya memeluk kakiku indah.
Ah, kau melihatnya? Tiara mungil di atas kepalaku itu, cantik bukan? Sssttt, aku membelinya saat ada lelang. Murah tapi tak murahan. Aku membawanya ke toko perhiasan langganan memintanya mencuci sampai kinclong. Dan hasilnya, berkilau bukan?
Kursi-kursi berukir itu kesukaan Aviel. Dia memesan sendiri pada salah satu temannya yang pengrajin kayu, di Jepara. Ada dua set kursi empuk berukir. Sudah dipenuhi orang-orang yang kukenal.
Di sana, suamiku, Aviel Danny Sangaji, duduk di barisan depan. Kursi empuk berlapis beludru di belakang meja persegi dari kaca, menatapku.
Lagu kesukaanku di dunia balet mengalun pelan. Aku yakin, itu perbuatan Latief, orang kepercayaan Aviel.
Aku menunduk sejenak pada para tamu, kakiku menekuk sedikit juga kepalaku. Kugerakkan kakiku dengan luwes menyapu lantai marmer abu-abu cerah. Berputar, menari di udara, menggerakkan tangan atau kaki sehalus dan seindah mungkin. Aku ingin mereka tetap takjub pada pesonaku.
Gaun selutut yang indah mengikuti langlahku, meliuk seperti kulitku. Aroma parfumku kali ini agak berbeda. Tak seperti biasanya. Apa Aviel memberiku parfum baru? Tapi aku lumayan suka.
Apa kau suka tarianku, Aviel? Apa kaliam tetap takjub pada pesonaku Mrs. Trifenna, Mr. Antonius, Mrs. Gretta? Kalian tetap suka bukan? Aku sangat menyukai tepuk tangan kalian, lalu mencium pipiku, memelukku sekilas dan memberiku sebuket bunga. Ah, yang paling kusuka adalah kecupanmu, Aviel.
Aviel, hey! Kau melihatku menari 'kan? Jangan-jangan kau tak melihatnya, atau sibuk melihat jadwal rapat di ponselmu? Oh, ayolah, ini kan pertunjukan yang kusiapkan sebelum pindah.
Kalian menyukainya bukan? Aku meliuk indah seperti yang sebelumnya, saat aku mendapat tujuh buket bunga yang tak bisa kupeluk lagi.
Ada apa dengan kalian? Sedari tadi memandang ke depan. Apa itu di tangan kalian? Sapu tangan, tisu? Kenapa wajah kalian muram. Aku sudah menunjukkan bakatku dan kalian mengacuhkannya?
Aviel, Sayang, kau suka pertunjukkanku bukan? Ya, kau menyukainya kan? Kau mau ke mana Aviel? Menari bersamaku? Boleh saja, ayolah kita menari.
Kau mau ke mana? Hey, ada apa? Kenapa kau melewatiku? Tak mendengarkanku? Kau sedang melihat apa?
Kau ingin tahu apa yang dilakukan Aviel? Dia mengelus sebuah papan panjang, berukir. Disanggah empat kaki, berwarna putih mengkilap. Mirip sebuah peti ya, bukan seperti peti harta karun, yang ini lebih besar.
Di atasnya terbuka, ditutupi kain brokat warna putih. Motifnya indah sekali, aku menyukainya. Aviel masih berdiri di sana, memandang lekat isi peti putih itu. Ia bergerak! Aviel menyingkap kaij brokat putih itu. Wajahnya memerah, itu saat dia marah atau sedih. Dia memajukan wajahnya, dan oh tidak! Dia mencium sesuatu di dalam peti itu. Berisi manusia? Berarti itu peti mati? Iyakah? Coba kutengok.
Ah, wanita yanh cantik. Parasnya bersih, pipinya merona merah muda, bulu matanya lentik, mm eyeshadownya natural, lipstiknya pun cantik warnanya. Tunggu, dia memakai tiara sepertiku? Tak hanya itu, itu juga mirip gaunku! Astaga, dia siapa?
Kupertajam penglihatanku, wajahnya tak asing bagiku. Dia diam di sana, tak bergerak dengan tangan terlipat di dada.
"Pak, jenasah Bu Cetta siap dimakamkan." itu bukan suara Aviel, tapi Latief. Ya, orang yang selalu ada di sisi Aviel.
Siap? Siap untuk apa? Memakamkan dia yang berada di peti mati itu? Kudekatkan langkahku dan luruh seluruh sendi-sendi tulangku. Aviel menurut, ia menutup kain brokat putih itu. Ada dua orang pria mengangkat papan putih berukir, penutup peti mati.
Aviel memanggul sudut kanan depan peti mati itu dengan derai air mata. Jane, saudara iparku memeluk pigura fotoku. Mereka meninggalkan kursi-kursi beludru dan juga aku yang terduduk di lantai, perih.
"Itu jasadku,"
YOU ARE READING
Lintas Langit
Short StoryBaca saja. Tanpa sinopsis. Jika suka klik vote jangan lupa.
