CHAPTER 17 - BAKAR KESEPAKATAN LAMA

Comincia dall'inizio
                                    

Setelah penjelasan panjang dan lebar dari Pak Gamar, lebar sekali karena cara bicara Pak Gamar yang demikian, akhirnya tiba saat bagi para Juru Kunci angkat suara. Kehormatan untuk memberikan pendapat pertama jatuh pada Man Mahrum.

"Perang! Perang! Peraang!" Tapi yang pertama kali berteriak adalah Ki Mujur. Semua mata tertuju ke arah kakek mini itu. "Ini jelas penghinaan. Kami sudah menjaga keutuhan makam, tapi desa lain ingin merusaknya." Seru Ki Mujur. "Peraang!" Seru Ki Mujur lagi.

"Mohon maaf, tapi dalam masalah ini tidak seharusnya kita terbawa amarah." Ujar Man Mahrum menasehati.

"Oh?" Ki Mujur menoleh. Melihat Man Mahrum dengan sedikit tatapan benci. "Sekedar menjadi anak Bahrudin saja tidak cukup untuk membuat Saya mau mendengarkan pendapat bocah sepertimu!" Ujarnya dengan sedikit nada benci. "Terutama jika nasehat itu keluar dari mulut juru kunci, yang astahnya saja berhantu." Lanjut Ki Mujur sembari mengunyah Emping melinjo yang sempat Ia tolak.

"Sudah saya duga akan seperti ini," Gerutu Pak Awang selaku moderator. Ia melihat Pak Gamar, berharap Kepala Desa mau ambil tindakan, tapi ternyata Pak Gamar sudah lebih dulu melihat Pak Awang, berharap moderator mau ambil tindakan. "MasyaAllah," Gerutu Pak Awang. Beruntung Ki Rozak segera bertindak. 

"Kalau diukur dari tinggi badan dan cara bicara, sepertinya kita tahu siapa yang bocah di ruangan ini," celetuk Ki Rozak. 

"Hahaha benar. Kita semua tahu siapa yang bocah di ruangan ini!" Ki Mujur tertawa dengan Emping yang masih belum dikunyah. Tawa itu hilang mana kala ia sadar bahwa Ki Rozak sedang menyindirnya. "Tae!" Umpat Ki Mujur tepat di samping telinga Ki Rozak yang duduk di sampingnya.

"Silahkan Man Mahrum," Ujar Ki Rozak. Ia mempersilahkan Man Mahrum bicara.

"Baik. Tentang penemuan beberapa makam ilegal di kampung ini, tidak bisa dipungkiri jika ini adalah dampak dari larangan menguburkan jenazah luar desa di pemakaman kita." Ujar Man Mahrum. "Memang tidak akan mengurangi jumlah kuburan ilegal yang sudah ada, tapi jika kita mencabut larangan itu, kita bisa mencegah bertambahnya kuburan ilegal."

Mendengar itu, wajah Ki Mujur bak ditampar ribuan emping melinjo. "Sembarangan! Kamu mau mengubah aturan yang sudah ditetapkan empat juru Kunci, termasuk Almarhum Bapakmu?" Tanya Ki Mujur dengan penuh amarah.

"Bapak Saya tidak pernah setuju dengan aturan itu," Jawab Man Mahrum. 

Terjadilah adu argumen antara Man Mahrum dan Ki Mujur. Sementara di sisi lain meja, untuk pertama kalinya Pak Imam bertemu dengan keempat juru kunci dalam satu kesempatan, dan kesan yang Pak Imam dapat jauh dari yang ia bayangkan.

"Apa mereka berempat selalu seperti ini, tidak pernah akur?" Bisik Pak Imam. "Saya tidak tahu Pak, tapi kalau Man Mahrum dan Ki Mujur sih mereka memang seperti air dan minyak. Padahal mereka paman dan keponakan." Jawab Marlena dengan berbisik pula.

"Iya Juragan. Saya sering ketemu Ki Mujur saat pergi ke tambak, orangnya ramah sih. Tapi sama orang-orang tertentu saja beliau jadi galak." Man Rusli ikut menyampaikan pendapat.

"Saya setuju dengan Man Mahrum." Ujar Ki Rozak, masih dengan senyuman di bibir keriputnya.

"Apa?!" Ki Mujur tersentak. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Ki Rozak dan kembali mengeluarkan kata saktinya, "Tae!"

"Saya juga. Terus terang Saya lelah melarang jenazah untuk dikuburkan di makam selatan, terutama jika itu jenazah anak-anak, walaupun berasal dari luar desa." Kali ini Nyai Rum ikut berpendapat.

"Ya ampun Nyai, Sampean juga?" Tanya Ki Mujur seolah tidak percaya Nyai Rum setuju begitu saja.

"Baik, sekarang kita telaah lagi, adakah dampak buruk dari mencabut aturan itu?" Pak Awang segera menengahi sebelum perseteruan semakin menjadi-jadi. 

"Pasti ada," Sahut Ki Rozak. "Salah satunya tanah makam yang semakin sempit." Lanjutnya.

"Sebelum meninggal pun Almarhum Man Bahrudin berpesan untuk tidak sembarangan memperluas area makam, karena keempat tanah tersebut sudah diijazah terlebih dahulu." Nyai Rum menambahkan.

"Makanya Saya bilang tidak! Ide Mahrum itu hanya akan membuat keempat makam semakin tidak terawat." Seru Ki Mujur lantang.

"Tapi jika tidak dilakukan, maka seluruh desa akan jadi makam yang tidak terawat." Celetuk Ki Rozak.

"Tae!" Umpat Ki Mujur di telinga Ki Rozak.

Pak Gamar kelihatan sangat muak. "Kenapa diantara setiap empat orang bijak, salah satunya pasti ada yang gila." Gerutunya sembari menggaruk-garuk mata.

Rapat berlanjut dengan mengumpulkan beberapa solusi alternatif. Ki Mujur berperan banyak dalam sesi tersebut. Ia mengajukan hampir sepuluh jalan keluar, tapi saat pemilihan suara dimulai, yang mengangkat tangan hanyalah Ki Mujur. "Tae!" Umpat Ki Mujur yang sudah kehabisan ide.

"Jadi bisakah kita buat kesepakatan sekarang? Mengingat hari juga semakin petang." Pak Awang mulai lelah. Saat itu tinggal sepuluh menit sebelum adzan maghrib.

"Seperti biasa, suara terbanyaklah yang harus dimenangkan. Dalam hal ini, kami setuju untuk membuka kembali empat astah sebagai pemakaman umum." Ki Rozak melirik Ki Mujur. "Terserah!" Sahut Ki Mujur. "Kami juga menginginkan aparat desa untuk berunding dengan Lindung dan Kalakan. Bagaimanapun kedua desa itu harus mengawasi aktivitas warganya." Lanjut Ki Rozak.

"Benar. Terutama setelah tragedi polong mayit di Sumbergede, kerusuhan sangat sering terjadi, dan seringkali berakhir dengan kematian. Kita tidak bisa selamanya menampung bangkai dari masalah mereka." Tutur Man Mahrum.

"Polong Mayit bukan satu-satunya peristiwa yang membuka Era kelam ini. Sejak akses ke Lawang Jerit diperketat, dan pengasingan dianggap tindak kriminal, masyarakat yang suka main hakim sendiri mulai melirik desa kita sebagai lahan baru mereka." Nyai Rum menambahkan.

Pak Awang membisikkan inti dari pendapat masing-masing juru kunci ke telinga Pak Gamar. Kepala Desa mengangguk mantap, dan kembali bersuara setelah lama bungkam. 

"Lan, lan, lantas bagaimana dengan kub, kub, kuburan ilegal yang sudah ter, ter, tersebar di desa kita? Haruskah kita bong, bong, bongkar semuanya?" Tanya Pak Gamar.

"Uedan!" Sahut Ki Mujur. "Mau kena kutukan kamu Gamar? Tidak usah dibongkar! Cukup warga lakukan slametan masal atau doa bersama. Insya Allah arwah mereka akan kembali tenang." Pungkasnya.

"Untuk kali ini Saya setuju dengan Ki Mujur. Kami para Juru Kunci akan memimpin doa bersama ini. Sekalian undang juga para kiai di Sokogede, dan mulai pertimbangkan untuk penentuan lokasi pemakaman baru. Pemakaman kelima." Ki Rozak menanggapi.

Saat itu wajah Man Rusli seakan jauh dari aliran darahnya. Ia ingat terakhir kali para juru kunci membuka keempat makamnya untuk umum, pembantaian besar-besaran terjadi di Desa Leduk. Saat itu juga mereka kehilangan Man Bahrudin.

"Mereka menutup pemakaman agar desa tetangga berhenti menjadikan Leduk sebagai pembuangan. Lalu sekarang, kenapa dengan mudahnya mereka berempat mencabut larangan itu?" Gumam Man Rusli.

"Apa boleh buat. Lebih baik keempat makam penuh oleh kuburan, daripada setiap hari warga harus menemukan kuburan baru di jalan, sawah, kebun, bahkan mungkin halaman rumah mereka." Sahut Pak Imam.

Dan akhirnya rapat itu ditutup dengan beberapa kesepakatan. Pak Gamar selaku kepala desa tampak sedikit lega. Hanya saja Ia masih bimbang untuk berunding dengan desa lain. Untuk saat ini Pak Gamar menunggu hasil penyelidikan polisi, karena sampai rapat berakhir pun Pak Waroh sang pemilik kebun tak kunjung hadir.

Adzan Maghrib membubarkan diskusi itu. Para Juru Kunci sudah berada di atas kendaraannya masing-masing untuk bersiap pulang. Tampak seorang tukang becak menawari Man Mahrum tumpangan, caranya agak sedikit memaksa. Man Mahrum menolak dengan halus karena Ia membawa sendiri motor tuanya. Bersama Pak Imam dan Man Rusli, Man Mahrum yakin perjalanan pulang mereka akan sangat aman. 

Sementara Pak Gamar. "Ayo neng, Saya antar." Ujar Pak Gamar pada Marlena. Tidak mau sebenarnya, tapi hari sudah petang. Warung harus segera buka dan setelah apa yang menimpa Emping, Marlena masih khawatir dengan adik laki-lakinya itu.

"Sampai warung saja ya pak," Pinta Marlena sembari menaikkan pantat berisinya ke Vespa Pak Gamar. Tentu saja Marlena menjaga jarak, tidak ingin ada sesuatu yang menyentuh punggung Kepala Desa itu. 

Pak Awang dan semua yang hadir mulai mengerti. Ini adalah jawaban dari Misteri diundangnya Marlena ke rapat ini.

BARISAN KERANDA MERAHDove le storie prendono vita. Scoprilo ora