[Lima Belas] Sebuah Teka-Teki!

Depuis le début
                                    

Asya sangat bodoh menilai Gendis adalah wanita ular yang tidak tahu diri. Ada rasa sesal mulut pedasnya mengolok Rayhan, mengumpatnya dalam hati, mengatakan bahwa hubungan cinta masa lalu Rayhan sangat menjijikkan. Nyatanya, mereka berdua hanya terjebak dalam sesuatu yang mereka sendiri tidak inginkan. Satu persatu kejadian mulai Asya pahami, mungkin untuk selanjutnya dia akan mendengarkan curahan dari sang tertuduh, Rayhan.

"Ca, tadi nggak ikut nangkep buket bunganya Gendis, ya?" tanya sebuah suara yang sangat dikenali Asya, siapa lagi kalau bukan Rayhan? Pria yang mengajaknya untuk datang kemari. Meskipun Asya menghadiri pernikahan ini bersama keluarganya.

Asya menoleh ke sekelilingnya, takut keberadaan Rayhan dan dirinya tertangkap oleh keluarganya. Untunglah orangtuanya sibuk berbincang dengan Pangkostrad di seberang sana. "Ngapain? Kalau emang belum waktunya nyusul nikah, ya udah. Kalau pun aku nangkep yang ada malu, ntar dikira tanda nyusul nikah, padahal calon aja nggak ada." Selorohnya.

Rayhan menggaruk dagunya. Asya dibuat terpaku melihat kegiatan pria di hadapannya itu, sangat maskulin di mata Asya. Kemudian dia menggelengkan kepala. Pikirannya mulai tidak beres.

"Oh, gitu, Ca. Padahal Mas berkali-kali kode sukarela jadi pendamping Asya kalau udah desperate," tukas Rayhan yang dihadiahi pukulan di lengan oleh Asya.

Asya berdecak kesal, "Ih nyebelin banget sih sekarang. Semua aja ngatain Asya depresi, padahal aku bahagia gini," sanggahnya.

"Asik banget ini, Kakak Asuh. Calon?" serobot seorang pria dengan pakaian yang serupa dengan Rayhan, formal dan rapi, mungkin lelaki itu juga bertugas sebagai panitia pernikahan seperti Rayhan.

Lantas Rayhan dan Pria itu saling membenturkan dada dan bersalaman dengan erat. "Bisa aja kau, Lek. Kenalin, ini kawanku, Asya. Sya, adik asuhku, Kenta."

Asya pun melempar senyum kepada Kenta, "Salam kenal, ya, Mas Kenta," ujarnya.

Rayhan merengut sepersekian detik melihat interaksi tersebut. Kenta menyadari kejanggalan di sana, dia pun memilih untuk minggir dari tempat itu. "Ke sana dulu, Suh. Cepet nyusul, lah. Biar nggak jadi pasukan pedang pora atau pengaman nikahan mulu," ejek Kenta. Rayhan hanya dapat mengulum senyumnya.

"Tuh, dengerin. Cepetan nyusul, Bujang Lapuk," ejek Asya sambil menaik-naikkan alisnya. Dia tertawa sendiri karena berhasil membuat wajah Rayhan merah padam. "Asik, marah juga nih yeee."

"Ntar aku nikah, situ nangis lagi. Dikutuk jadi batu bisa-bisa," bela Rayhan tak mau kalah, meski kupingnya sudah memerah karena menahan malu.

Asya tumbuh menjadi wanita dewasa yang mengagumkan. Rayhan tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain selain Asya. Dia mendengus frustasi. Percuma dia menyerbu perempuan di depannya ini dengan serentetan kode ataupun gombalan. Tidak akan mempan. Dia pun tahu yang dibutuhkan Asya sekarang adalah aksi pembuktian atas kesungguhannya. Namun, Rayhan masih ketar-ketir untuk mewujudkannya. Banyak pertimbangan untuk itu.

Asya melambaikan tangannya tepat di depan muka Rayhan. "Eh, Mas. Malah ngelamun. Ngelamunin apa?"

"Itu, mikirin masa depan. Oh, ya, Ca. Kamu berangkat ke Jakarta kapan?" tanya Rayhan asal.

"Masih ada kali dua minggu lagi," jawaban Asya itu disahuti Rayhan dengan anggukan saja.

Wajah Rayhan kaku seketika. Melihat Gibran dan Kila, orangtua Asya, melangkah menuju ke arahnya. Tidak mungkin juga dia kabur. Menunjukkan sekali bahwa dia pengecut, bukan? Bertahun-tahun mentalnya ditempa mulai dari taruna hingga menjadi prajurit akan sia-sia jika dia kabur seperti maling. Lebih baik dia diam dan menghadapi segala dampratan kekesalan orangtua yang kecewa anak gadisnya dikecewakan.

Would You Still Love Me The Same?Où les histoires vivent. Découvrez maintenant