[Sepuluh] Distant Lover

Start from the beginning
                                    

***

Rayhan dan Deo menunggu kedatangan bus yang akan ditumpangi oleh mereka. Bus yang mereka tumpangi merupakan pinjaman dari rekan seletting Rayhan, yang merupakan anak pemilik otobus ternama di Jawa Timur. Jadilah mereka mendapat tumpangan gratis agar selamat sampai Jogja maupun Magelang.

Larut malam ini Asya harus tahan untuk tetap membuat matanya terbuka. Meski susah payah dia berkali-kali menutup mulutnya yang menguap karena mengantuk. Rayhan yang melihat Asya meneteskan bulir air mata karena mengantuk itu pun langsung menggodanya, "Pacar seharinya Mas nangis nih mau ditinggal?" guraunya sambil menyenggol lengan Asya.

Asya menghempiskan hidungnya. "Diasal aja kalau ngomong, ini gara-gara ngantuk. Cepetan berangkat napa sih," ucapnya pura-pura kesal. Padahal dalam hatinya dia menjerit ingin menahan kepergian Rayhan.

"Janji dulu sama Kangmas ganteng, bakal rajin belajarnya. Harus masuk univ yang dipengenin, ya? Lombanya udahan dulu fokus belajar, oke?" Rayhan membuat Asya berjanji ala anak kecil, dengan menautkan jari kelingking mereka berdua atau pinky promise.

Sudah ditahan-tahan rasa geli di dalam diri Asya untuk menertawakan kelakuan Rayhan. Tidak disangka sisi Rayhan yang seperti anak kecil ini ditunjukkannya pada Asya pada hari pertama mereka berpacaran. Asya pun mengangguk mengiyakan, tidak tega melihat Rayhan yang menahan malu. "I promise," ucapnya kemudian dengan menautkan jari kelingking mereka dan melakukan high-five.

Waktu yang mereka bunuh dengan obrolan ringan itu membuat keduanya tidak terasa bahwa hubungan mereka akan diuji dengan jarak. Bus yang mereka tunggu sudah datang. Rayhan telah menggendong tas ransel dan juga menjinjing tas pesiarnya.

"See you very soon, Asya. Jangan bandel, nggak usah diet-diet lagi. Mas sayang Asya," Rayhan mengucap kalimat perpisahan dengan mengumbar senyumnya, memperlihatkan lesung pipinya yang membuatnya beribu kali lebih tampan.

"Mas yang jangan bandel. Kalau pulang, jangan lupa samperin Asya, ya. Kangen nanti..." lirih Asya, pipinya pun semerah kepiting rebus karena mengucapkan kata laknat itu. Rayhan mengangguk bangga, akhirnya Asya jatuh ke dalam pesonanya. Beruntung dia memiliki gadis ini dalam waktu singkat. Sebelum ada penyesalan di akhir.

"Iya, Mbul. Pasti itu, nanti kalau pesiar juga bakal Mas vidcall, kok." Rayhan memberikan sebuah buku kepada Asya, "Buat kamu. Dibuka pas di rumah aja. Udah, ya. Mas berangkat dulu. Assalamualaikum, Mbul."

Asya mendengus kesal ketika pacarnya yang ganteng itu telah melambaikan tangan dan meninggalkan Asya yang cemberut. "Waalaikumsalam, Mas."

***

Asya ngebo lagi, setelah tidak bisa tidur hingga subuh. Akhirnya dia bisa terlelap tidur sampai jam sembilan pagi. Tidak etis memang, tetapi daripada membiarkan kepalanya pusing karena kurang tidur, lebih baik dia mengambil waktu yang ada untuk beristirahat. Toh, keluarganya yang hendak mengantar Arza ke Stasiun Gubeng juga baru datang. Sekarang dia sudah bersiap, dengan riasan tipis. Sentuhan lipgloss di bibir, bedak tabur dan juga BB Cream untuk menutupi daerah hitam di bawah matanya sudah cukup untuk membuat tampilan Asya terlihat segar.

Setelah mengemasi barang-barangnya sendiri, Asya pun menuju ke lobi hotel seusai check out. Mobil keluarganya telah terparkir di depan hotel, Asya langsung berlari dengan tas ranselnya.

"Zaaaaa! Nggak bisa apa ditunda gitu masa orientasinya? Mana lama banget lagi buat bisa ketemu lagi," Asya langsung menggelendoti kembarannya yang memasang muka jengah karena tingkah manja Asya.

Arza menyentil dahi Asya, sebuah hobi yang mengasyikkan bagi Arza. "Kalau aku pergi aja nempel gini kayak tai kucing. Coba waktu ada aku, diusir kayak hama."

"Perumpamaanmu gitu banget, Cecunguk. Rendahan banget, dasar." Asya masih menempelkan kepalanya di pundak Arza, "Gue, eh, aku jadian sama Mas Rayhan." Ucapnya, setengah berbisik agar tidak terdengar oleh kedua orangtuanya.

Hampir saja jantung Arza copot mendengar pernyataan Asya. "Mulut ngasal bener, mana mau Bang Rayhan sama Sundel Bolong kayak kamu," kata Arza tidak percaya. "Ngayalnya itu loh, dikondisikan tolong."

Asya mencubit pinggang Arza, menyebabkan kembarannya itu menggeliat tak karuan karena menghindari cubitan ganas Asya. "Semprul emang Arza," kilahnya.

Siapa sangka setelah pertengkaran ala anak bayi antara Arza dan Asya itu bisa membuat Asya menangis hebat sekarang? Saat Arza mulai berpamitan kepada Gibran dan Kila, Asya pun meneteskan air mata. Tidak menyangka Arza yang selalu mengekori dirinya akan digembleng dengan keras menjadi perwira TNI. Asya kehilangan satu sosok yang mengisi hari-harinya dengan perdebatan dan pergulatan yang heboh di rumah.

"Hiks... Kampret banget sih Za, pake acara jadi tentara segala. Terus nanti aku tengkar sama siapa? Sama Mama doang nggak asik, Za." Keluhnya, masih merengek dengan menggelayuti lengan Arza.

Gibran melepas pelukan Asya, "Sya, udah ah. Abangnya mau ngejar impian kok diomelin. Didukung biar sukses, Asya juga harus kayak Arza. Apa yang diimpikan, pastikan untuk tercapai. Udahan nangisnya, malu dilihatin orang segini banyak," tutur Gibran.

"Iya, Pap." Jawab Asya sambil mengerucutkan bibirnya.

Mengelus pipi Arza, Kila pun ikut mengeluarkan bulir air mata. Anak lelakinya sudah beranjak dewasa. Kini Arza bukan lagi anaknya, melainkan anak Ibu Pertiwi pula. "Jaga kesahatan, ya, Cah Bagus. Kalau mau nyerah, ingat perjuangan Abang dari awal untuk bisa sampai sini. Selalu ingat Allah, ya, Nak." Peringatnya, Arza langsung memeluk tubuh wanita paruh baya di hadapannya dengan haru.

Gibran dan Asya pun juga ikut memeluk tubuh Arza. Melepas permata kesayangan di keluarga mereka dengan penuh tangis kebanggaan dan haru.

"Arza pamit dulu, Ma, Pa, Sya. Assalamualaikum..." pamit Arza sambil berlalu mengejar teman-temannya untuk naik ke kereta.

Dua pria yang mengisi hidup Asya sekarang pergi ke satu arah, tujuan yang sama. Mengabdi pada Negara. Begitu pula dengan Ayahnya, yang telah mengemban tugas mulia itu. Masihkah rasa takut itu ada di dalam diri Asya?

***


Would You Still Love Me The Same?Where stories live. Discover now