Sepeda Alien Itu Rusak Lagi

Mulai dari awal
                                    

"Ciri-ciri otak kepenuhan," teman yang lain menebak. "Awas. Nanti kamu bisa gila."

Made melenguh. Sedikit merebahkan diri di kasur setelah beratnya pekerjaan fisik adalah hal yang paling menyenangkan, tetapi akan serba tanggung apabila beban itu ada di dalam kepala. Dibawa tidur dia merongrong sepanjang malam. Dibawa bersantai dia menghantui dari belakang.

"Anak pintar sekali-sekali juga harus mendinginkan kepalanya," anak bernama Komang Adi menyeletuk. Dia mendekat dan menepuk pundak Made. "Aku tidak mau mendengar kabar bahwa besok sahabatku tewas dengan kepala hangus."

Tawa mendadak memecah deru arus sungai.

"Aku membayangkan Sujana juga stres seperti kamu gara-gara olimpiade ini," Komang Adi mendekatkan wajahnya, berbisik ringan. "Kalau dia mengganggumu lagi, lapor padaku. Akan kutenggelamkan kepala pintarnya yang congkak itu ke dalam lumpur!"

"Sebaiknya jangan buat masalah," cegat Made, berbisik balik ke hadapan Komang Adi. "Kupingmu sudah cukup sering berurusan dengan ocehan guru BK."

"Separuh masalah itu adalah masalah pribadiku," Komang Adi mendesis jengat. "Aku tidak bisa terima kalau dia terus-terusan memanggilku cumi-cumi bau pesing. Aku harus buat perhitungan."

Made berpaling. Bosan. Masalah seperti itu agaknya tidak usah dibicarakan saat mereka ada di depan anak-anak lain. Komang Adi selalu begitu. Tak pernah lupa pada penghinaan orang.

Semua anak itu tahu bahwa Made Sanjaya,—bocah pemetik bunga pacar yang sedang mereka ajak bergurau—adalah manusia dengan otak paling encer di seluruh SMP di Kecamatan Bukit Tanda. Komang Adi, si pemimpin geng, kerap bertanya kepada Made tentang apa komposisi yang menyusun otaknya. Anak itu sedang menebar isu bahwa Made adalah alien. Menurutnya, tidak mungkin ada anak manusia biasa yang bisa mengerjakan soal matematika tanpa membuat coretan. Entah alien jenis apa yang ada di balik kepala Made, yang rela hidup simpel dengan nasi singkong ala dataran tinggi dan menaiki serangkai besi tua bernama sepeda gayung.

"Aku janji setelah seleksi kabupaten aku akan berenang bersama kalian. Sungguh!" Made ingin segera mengakhiri semua basa-basi sore itu dengan kesan yang ramah.

"Kamu harus traktir kami kue kelepon buatan ibumu!" imbuh Suar, anak yang bertubuh lebih kecil.

Komang Adi menggeleng. Matanya terpejam lekat. "Itu tidak akan pernah terjadi," potongnya. "Setelah lolos di kabupaten, alien ini akan langsung ke provinsi. Yah, begitulah. Berenang dalam angka-angka pastinya lebih menyenangkan baginya daripada basah di sungai."

Made hanya membalas banyolan kawannya dengan sebuah senyum kecil. Tipikal anak dengan otak berat yang sedikit bicara. Anak sekelas Komang Adi kiranya tak perlu diladeni serius. Made hanya cukup mengunci rumahnya pukul enam sore dan berpura-pura tuli saat Komang menggedor rumahnya malam-malam untuk meminta jawaban PR. Begitu mudahnya.

"Gila," umpat Komang Adi ringan. "Kepalamu pasti sangat panas sampai-sampai kamu harus menghabiskan rambutmu. Ditambah tingkah polah Sujana yang sok itu, pastinya kamu tidak bisa tenang. Aku yang bodoh ini saja emosi dibuatnya!"

Ada setitik gelak tawa dari teman-teman lainnya, menertawai logatnya yang lucu.

Komang Adi tiba-tiba membelah suara tawa itu. "Hei," letupnya. "Sepeda bututmu itu rusak lagi, De?"

Terpaksa Made mengaku. Sepedanya hari itu ingin dipapah karena rantainya putus. Tatkala tadi dia menuruni bukit yang memisahkan ladangnya dengan tepi têlabah yang bening lalu bersiap mengayuh pedal sepedanya dengan tenaga penuh, tiba-tiba saja rantai sepeda itu putus. Sebaik apa pun komponen otak Made, dia tidak dirancang untuk menyambung rantai karatan yang putus dengan tangan kosong. Rumus-rumus matematikanya tak bisa membuat rantai itu tersambung kembali. Tak ada sihir, tak ada wahyu. Mengomel sendiri di tengah jalan persawahan hanya akan membuatnya dituduh gila karena kebanyakan belajar. Jadi, dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan bersabar mengerami rasa jengkel di balik bibirnya.

"Mengapa kamu tidak beli sepeda motor saja?" umpan Komang Adi. Dia mengarahkan dagunya ke deretan sepeda motor yang terparkir amburadul di samping gubuk. Warna sepeda motor itu berkilat diterpa matahari senja. "Tuh, lihat. Seperti punya kami."

Made bungkam. Bentuk sepeda motor yang terparkir rapi itu begitu menggoda matanya.

"Harusnya abangmu memberimu sesuatu sebagai penghargaan atas kepandaianmu," Komang Adi memancing lagi. "Sebuah motor baru barangkali,—atau apalah yang bisa kautunggangi."

"Kalau mau yang murah, kuda sumbawa juga boleh, De!" Suar menyela di antara gelombang dadaran Komang Adi. Entah kalimat itu muncul karena dia kurang membaca atau karena memang dia ingin menjahili Made dengan kalimat yang tak faktual. Yang jelas, harga kuda sumbawa siap tunggang bisa lima kali lipat harga sepeda motor.

"Aku harus pulang," putus Made. Dengan kepala berat yang menggelantung. Itu sungguh percakapan yang menyenangkan dengan kawan-kawan yang akhir-akhir itu sudah jarang ditemuinya,—kecuali pada bagian akhir. Itu benar-benar merusak suasana,—seperti secuil tinta hitam yang mengotori seluruh lukisan.

Dan itu sudah terjadi berkali-kali. Karena itu lebih baik baginya untuk segera beranjak pergi sebelum episode memuakkan yang sama terulang lagi.

"Made!" Komang Adi memanggil. Suaranya adalah sebuah oktaf metal yang parau, antara suara kanak-kanak yang melengking dan suara remaja paruh akhir yang berat. Selama beberapa bulan belakangan dia sungguh terganggu dengan perubahan suara yang tidak enak didengar itu. Dia berdehem beberapa kali, berharap suara kanak-kanaknya yang jernih bisa kembali.

Made memutar kepalanya, menatap sumber suara.

"Ingat nanti malam!" berkata begitu, Komang Adi mengangkat tangannya sejajar wajah dan menyembulkan ibu jarinya. Senyumnya terukir lebar, gigi-giginya tampak sempurna. Itu bukanlah sebuah tanda kesepakatan antara pihak satu dan pihak dua, namun sebuah permohonan dan rengekan terselubung. Gelagat amatir itu adalah satu-satunya hal yang bisa Komang Adi lakukan untuk minta maaf atas kata-katanya yang keterlaluan agar dia masih diberi kesempatan meng-copy-paste pekerjaan rumah, dengan sedikit modifikasi akademik yang lihai.

"Jangan terlalu malam," jawaban Made menggantung berat. Komang Adi benar-benar kawan yang tak tahu diuntung. "Nanti kelepon-nya habis."

"Sip!" itu jawaban Komang Adi,—sebuah irama kepastian bahwa dia akan mendapatkan apa yang diperlukannya nanti malam. "Aku datang bersama Putu Yasa."

Made tak menanggapinya. Rasa jenuh kembali bergelincak. Diaberbalik dan mendorong sepedanya menjauh.


Gingsul: gigi yang bertumpuk.

Sungai kecil.

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang