# Appear

433 8 1
                                    

Kecelakaan beruntun terjadi di tengah kota hari ini. Karena RS Aurora adalah rumah sakit yang paling dekat dengan lokasi kejadian, maka semua korban dilarikan ke RS Aurora. Hari ini aku agak terlambat karena ada yang harus diurus lagi di kampus. Aku baru saja memarkir mobil di parkiran. Begitu turun dari mobil, dari kejauhan sudah terlihat kerumunan orang banyak. Dan suara sirine mobil ambulance masih terdengar.

Semua suster dan dokter tampak juga di tengah kerumunan. Semuanya sibuk dengan para korban kecelakaan yang baru saja terjadi. Melihat semuanya panik aku juga ikut panik. Sebagian pasien sudah digotong ke dalam untuk mendapatkan perawatan.

Aku berlari masuk ke dalam dan membantu suster dan dokter yang tengah sibuk dengan para pasien. Setelah hampir dua jam, semua pasien berhasil ditangani dan kini tidak ada lagi kepanikan yang terjadi seperti halnya tadi.

Melihat kejadian hari ini, hati kecilku bergumam "ternyata tidak mudah menjadi seorang dokter". Aku menghembuskan napas panjang dan melangkahkan kaki keluar dari salah satu kamar korban kecelakaan.

Satu persatu kamar korban kecelakaan aku datangi dan menanyakan hal yang sama.

"Bagaimana keadaannya?"

Sampai pada kamar korban yang kelima, aku terkejut dengan seseorang yang sedang menangani korban. Orang itu tidak mengenakan seragam dokter RS Aurora. Padahal, salah satu peraturan di rumah sakit ini adalah "Seorang dokter yang bukan bagian dari RS Aurora tidak boleh mengambil tindakan (menangani) pasien tanpa izin dari pihak rumah sakit (direktur)".

Ketika mengingat salah satu peraturan itu, tanpa pikir panjang aku menghampiri orang itu. Sejenak aku memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan tepat sekali. Dia memang bukan dokter di rumah sakit ini.

"Anda siapa? Siapa yang menyuruh anda menangani pasien ini?" tanyaku dengan tegas.

Orang itu tidak memperdulikanku. Dia tetap saja melanjutkan apa yang tengah dikerjakannya. Hanya saja suster yang berada di ruangan ini yang langsung menunduk dan terdiam.

"Suster, siapa dia? Dia bukan dokter sini kan?" tanyaku kepada salah satu suster itu.

"Anu bu...itu. Dia dokter Tatra" jawab suster itu terbata-bata.

Mendengar jawaban dari suster tadi membuatku semakin kesal. Sebagai direktur yang baru, aku harus menjalankan apa yang seharusnya. Aku menghampiri dokter itu. Dan sampai tepat dihadapannya, aku kembali menanyakan hal yang sama.

"Gue Tatra. Dokter Tatra" jawabnya dengan kasar.

Mendengar jawabannya, spontan aku menariknya ke luar ruangan dengan paksa.

"Maaf yah dokter Tatra yang terhormat. Anda tidak boleh menangani pasien tanpa seizin direktur rumah sakit ini" tegasku dengan mata melotot.

Dia tidak menghiraukan ucapanku. Dia malah dengan santainya melemparkan senyumnya dihadapanku tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Hei! Anda tidak punya telinga yah?" tanyaku semakin kesal.

"Maaf yah, gue nggak punya waktu bertengkar dengan anak kecil seperti loe. Dan loe juga nggak usah sok ngatur-ngatur gue. Gue kenal dengan direktur rumah sakit ini" jawabnya santai.

Setelah itu dia melototiku hingga beberapa menit dan tersenyum kemudian berlalu. Dia seperti orang gila. Senyumannya pun seperti senyuman malaikat berhati jin. Tampak manis tapi terasa pahit.

WHOWhere stories live. Discover now