[Tujuh] Kemunculan Arza dan Si Buaya Darat

Bắt đầu từ đầu
                                    

"Kencan pala lo!" sela Asya. Mama dan Papanya langsung memberi tatapan peringatan padanya karena berkata tak sopan. "Lanjutin, Za." Asya meringis ngeri melihat tatapan ortunya.

"Ya jadi gue belum sempet gitu bu—," ucapannya lagi-lagi terpotong karena interupsi dari sang Mama, "Kalian ini biasakan mulai sekarang pakai kata-kata panggilan yang sopan. Gue-lo nya diganti!"

"Geli, Mam." Sahut Arza dan Asya bersamaan. "Ngomong lagi, ngelawan lagi, Mama ngambek." Ancam Kila pada akhirnya membuat saudara kembar itu pasrah mengiyakan.

Arza menghela napas untuk memulai penjelasannya, berharap tidak ada lagi gangguan yang menyela pembicaraan. "Jadi, baru hari ini Arza kasih tau ke Papa, juga Mama, Sya. Mereka juga kaget waktu aku kasih amplop isinya nama aku tertulis jadi calon taruna Akademi Militer," satu cubitan mendarat di pipi Asya, "Gue, eh, aku nggak pernah secara gamblang dan terang-terangan bilang kalau impianku jadi kayak Papa. Kamu juga nggak pernah tanya secara serius, Sya. Selalu kamu menyimpulkan aku pengennya ya jadi jaksa, gara-gara aku sempat bilang mimpiku untuk mengabdi ke negara."

Asya menitikkan air mata, kesedihan, bangga, kesal, dan senang bercampur aduk dalam lelehan yang menuruni wajahnya. "Maaf, Asya terlalu nuntut Abang Arza buat jadi jaksa. Asya bangga sama Arza, akhirnya bisa raih impian yang dipengenin," salutnya.

"Jelasin juga, Za, kenapa harus ngilang dan nggak kasih kabar ke Mama, Papa, dan juga aku? Ngawur kamu bikin orang sekampung khawatir." Asya masih memojokkan Arza, masih dongkol dalam hati karena ulah kembarannya itu sangat tidak terduga.

Kila dan Gibran sudah siap mendengarkan penjelasan Arza. Mereka sendiri belum tau alasannya.

"Sebelumnya Arza minta maaf sama Papa, Mama, dan Asya. Maaf udah bikin keluarga khawatir, alhamdulillah Arza baik-baik aja ini. Masih ganteng dan berkharisma," guraunya.

Arza mengangkat amplop berisi hasil pengumuman tesnya, "Arza sebenarnya udah ngasih clue ke Mama, bilang kalau Abang bakal nyusul Papa. Eh, Mama malah bercandain Arza bilangnya, emang kamu buntutnya Papa kok pake nyusul Papa segala? Gitu," ujar Arza sambil mengembuskan napas diiringi gelengan kepala. Sontak anggota keluarga yang lain menyemburkan tawa mendengarnya.

"Hahaha, aduh Ma. Anak pamitan malah dibercandain, gimana kamu tuh," ujar Gibran menyikut lengan istrinya gemas. Kila, yang tertuduh hanya tersenyum lebar. Malu.

"Arza juga belum berani bilang ke Papa kalau selama ini Arza latihan fisik segala macam itu karena pengen ikutin jejak Papa. Takutnya, Arza lolos dengan hasil nggak murni karena campur tangan Papa. Arza nggak mau kepuasan yang diperoleh karena hasil jerih payah Arza sendiri jadi setengah-setengah," jelas Arza membuat ketiga pasang mata yang menyimak terpaku, bangga, haru pula saat mendengarnya. "Juga belum bisa kasih tau ke Asya yang selama ini naruh harapan tinggi banget biar Arza ambil profesi jaksa. Nggak mau bikin kembaranku tercantik kecewa," Arza memegang tangan saudarinya dan memeluk tubuh Asya dengan perasaan hangat.

"Papa bangga sama kamu, Za. Ingat sekarang kamu bukan hanya anak Papa dan Mama, tapi juga anak Ibu Pertiwi. Mengabdi penuh sama Allah, Negara, baru keluarga. Papa yakin anak ganteng Papa pasti bisa." Gibran menepuk pundak Arza penuh arti. "Duh, daridulu Papa udah nyiapin kata-kata ini buat diomongin ke anak sama mantu Papa, barangkali ada yang Abdi Negara."

Seluruh anggota keluarga yang dipenuhi rona kedamaian dan penuh kehangatan itu pun mengisi malam dengan gurau dan tawa.

***

Ini kali pertama Asya berolahraga dengan pakaian yang lebih tertutup dan juga longgar, jilbab langsung pakai berwarna abu-abu menemani aktivitas joggingnya pagi ini. Dia berlari-lari kecil di lapangan kompleksnya. Keluarga Asya tinggal di perumahan yang dekat dengan perkotaan dan juga tempat dinas sang Papa, mereka tidak tinggal di asrama militer karena membutuhkan privasi lebih dan juga beberapa alasan lain.

Arza tidak akan mau menemani Asya jogging di kawasan kompleks, karena Arza lebih suka lari di lapangan kantor Gibran yang luas dan sepi. Sedangkan Asya tidak mau lari di sana, karena tidak ada makanan apa-apa, masih mending juga di tempat yang dipilihnya, ada batagor yang enaknya kebangetan.

"Saya baru lihat kalau suatu keindahan itu bisa meneteskan keringat dan tetap aja cantik, ya," ucap suatu suara di belakang Asya.

Langkah Asya memelan, masih dalam posisi berlari kecil, dia menoleh ke belakang. Mendapati Rayhan, tersenyum ke arahnya. "For your information, nama gue Asya bukan indah," ucap Asya dengan ketus. Tidak akan dirinya terjatuh dalam rayuan gombal buaya darat seperti Rayhan. Nggak bakal!

***

Gallery

[Asya]

[Rayhan]

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

[Rayhan]

[Rayhan]

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.
Would You Still Love Me The Same?Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ