Prolog

16.1K 617 15
                                    

Langit sudah mulai gelap, angin pun berembus kencang, rambut Asya dibiarkan mengikuti semilir angin. Pipinya yang gembul sengaja digembungkan. Asya masih menggigit bolpoinnya, sambil mencoret-coret lembaran di tangannya. Raut mukanya tercetak jelas sedang kebingungan, dengan kerutan di dahinya itu. Seragam putih abu-abunya sudah berbau asem, begitu pula dengan dua temannya di dekatnya.

"Pantes aja beuh, gue ngerasa ada yang kurang, ih.. Seharusnya the latest Obama's foreign policy dikaitin sama kebijakannya George Bush! Iya gak, sih?" tanya Asya kepada rekanannya satu tim.

Arza, laki-laki dengan sorot mata tajam yang merupakan teman se-tim dan juga kembaran Asya mengangguk. "Iya juga, ya. Kurang searching nih kita, kita bagi tugas aja lah. Tuh motion hubungan Internasional yang lain belum kita bahas yang opposition side-nya."

Tiara, gadis cantik di sebelah Asya mulai mengemasi barangnya. Dia menguap tanda sudah mengantuk. Bagaimana tidak? Mereka langsung berkutat dengan persiapan mereka lomba debat bahasa inggris seusai pulang sekolah hingga jam sembilan malam.

"Oke, kita lanjut besok, ya. Ntar aku kirimin ke grup WA, kalo-kalo nemu link yang related sama motion kita. Duluan, ya. Ati-ati kalian kalo pulang!" ucap Tiara sambil melambaikan tangannya dan mulai berjalan ke depan gerbang sekolah. Di sana, Adam telah bertengger di sepeda motor untuk menjemputnya. Adam melemparkan senyum padanya. Kemudian mereka berlalu pergi, meninggalkan Asya dan abang kembarannya, Arza, yang masih memanaskan mesin si Ninja.

"Eh, Za, mampir beli jus wortel campur tomat dulu, dong... Ya?" rajuk Asya pada saudara laki-lakinya.

"Sekalian martabak red velvet oreo ya, Za. Hehehe..." Arza mendengus sepersekian detik sebelum menganggukkan kepalanya untuk menuruti keinginan kembarannya yang tengil.

"Gimana nggak tambah subur dah, lo, Sya." Ucap Arza setengah tak percaya dengan porsi makan Asya, ia pun melaju kencang ke arah tujuan mereka.

Kebetulan, semua makanan yang diinginkan Asya searah dengan jalan pulang ke rumah mereka, ditambah jus langganan Asya bersebelahan dengan martabak manis kesukaannya pula, jadi Arza tak begitu kerepotan. Setelah sampai, Asya langsung memesan satu jus wortel campur tomat dan tiga jus alpukat untuk dibungkus. Keluarganya sangat suka jus alpukat, berbanding terbalik dengannya yang benci buah ijo itu. Yieks..

"Udah lo pesenin martabaknya, Za?" tanya Asya sambil menggerak-gerakkan kakinya menunggu pesanan mereka jadi.

"Udeh, Tuan Putri." Jawab Arza setengah hati. Asya hanya cekikikan melihat ekspresi Arza yang lempeng.

Kedua bersaudara yang kebetulan kembar cewek-cowok ini sangat menyayangi satu sama lain. Bukan sayang dalam tanda kutip, tetapi rasa sayang untuk saling melindungi. Apalagi Arza, meski tampangnya yang lempeng dan tidak punya gairah hidup itu, dia selalu menjaga sang adik kembarnya yang cantik itu. Menurutnya, dia tak perlu heboh untuk memberitahu bahwa dia sangat peduli pada adiknya, cukup dengan aksi saja.

Asya Shakila Gibran, cuma perempuan biasa yang hobi makan dan tidur, gelandotin Mama, dan nonton drama korea. Sederhana sih hidupnya, tapi dia bersyukur punya orang tua yang perhatiannya minta ampun –udah kayak satpam sih sebenernya, yang harus lapor 24 jam- dan juga punya Arza Aqila Gibran, kembarannya yang cuek, resek, brengsek kayak bebek. Cukup punya mereka aja hidupnya udah senang. Jadi, Asya nggak pernah tuh kepikiran apalagi ngebet punya pacar. Arza udah cukup untuk dijadiin babunya, he he he.

Dia sekarang kelas dua SMA, bersekolah di salah satu SMA favorit di Malang. Jangan heran kenapa Asya dan Arza masih kebiasaan pake gue-lo, karena mereka baru saja pindah dari Jakarta, sebelumnya juga mereka harus hidup kayak nomaden karena profesi Ayahnya yang merupakan seorang abdi negara yaitu tentara dari matra Angkatan Darat.

Setelah cukup lama menunggu, pesanan Asya –baik jus maupun martabak manis- telah selesai. Dia pun membawa kantong plastik makanan dan minuman tersebut dengan hati-hati bak seperangkat emas yang rapuh. Sangat berharga. Ya iyalah berharga, mereka yang bikin Asya gembul kayak sekarang.

Arza memasangkan helm pada kepala Asya, sambil berdecak. "Nih helm bisa meledak kayaknya, pipi lo tuh meleber kemana-mana." Asya memutar bola matanya, malas menanggapi ejekan Abangnya.

Sinar matahari mulai mengganggu tidur nyenyak Asya. Duh, jangan ditanya kok baru jam segini Asya bangun. Mumpung tanggal merah dan dia kedatangan tamu bulanan, jadinya bisa puas-puasin tidur sampai jam sepuluh. Toh Asya semalam begadang buat mencari materi persiapan mosi untuk lomba debat bahasa Inggris berskala nasional, di mana dia, Arza, dan Tiara jadi perwakilan Provinsi Jawa Timur di NSDC.

Mungkin debat memang asing bagi sebagian orang. Bahkan yang orang tau debat itu ya debat kusir, atau orang berantem nggak jelas sahut-sahutan omong kosong. Duh.. Kalau dengar itu, rasanya Asya, yang jatuh cinta pada dunia debate, pengen nampol orang yang ngomong kayak gitu. Debat yang dicintai Asya, juga Arza, itu bukan debat kusir nggak jelas. Tetapi debat sistematis, yang kebetulan buat anak SMA pakai Asian Parlementary System, di mana ada tiga pembicara dalam satu tim untuk mengemukakan pendapat yang terstruktur, logis, dan dapat dipertanggung jawabkan. Kalo kata pelatih debat tim Asya, Mas Yohan, sih, kita main peran jadi jubir pemerintah.

Awalnya, Arza nggak mau ikutan debat kayak Asya. Soalnya pemikiran dia juga sedangkal orang yang mikir debat itu ribut nggak jelas. Eh waktu liat Asya masuk grand final di kompetisi debat bahasa Inggris di Universitas Brawijaya, dia yang aslinya cuma mastiin Asya milih passion yang salah, pun, malah ikut terjerumus ke dunia debat. Aakhirnya dia jadi rekan satu tim Asya mulai kelas satu semester dua. Untung saja Arza fast learner dan juga open minded, takutnya dia urung untuk ikut debat setelah tahu topik yang dibahas sangat asing di telinga masyarakat Iindonesia –tetapi pada faktanya sudah mengglobal- seperti kasus politik, LGBT, hubungan internasional, dan lain-lain. Asya suka aja mengetahui hal baru. Disaat teman-temannya yang lain men-judge LGBT itu hal yang salah, tapi nggak bisa kasih alasan. Asya malah senyum-senyum nggak jelas sambil mengumpat dalam hati mengetahui pemikiran dangkal temennya itu.

Jadilah dia jatuh cinta sama dunia debat, Asya berkali-kali menyabet posisi sebagai Best Speaker dan timnya juga berkali-kali menang menjadi juara satu di perlombaan debat. Asya senang, bisa bikin Papa dan Mamanya bangga. Barang secuil prestasi yang dicapainya.

Would You Still Love Me The Same?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang