Bab 17 - Titik Terang

12.3K 1.5K 59
                                    

Sejak Wiga meninggalkan apartemen Hanin sekitar 1 jam yang lalu hingga sekarang tak satu centi pun Hanin merubah posisinya. Seolah apa yang akan ia lakukan akan berdampak bagi perasaannya. Mata Hanin masih menatap kosong sup buatannya. Wiga bahkan baru memakannya beberapa suap. Pria itu pasti pulang dalam keadaan lapar. 

Hanin mengambil napas dalam-dalam, matanya terpejam sesaat. Ia ingin melupakan semua masalah yang datang dalam hidupnya. Ibunya, Perasaannya, dan Kasus-kasusnya. Kini semua terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena Hanin mulai menggunakan hatinya sepenuhnya.

Hanin bangkit dari posisinya. Membawa mangkuk berisi sup, menaruhnya kembali ke dalam panci lalu menutupnya. Ia membereskan piring dan gelas yang tadi dipakai Wiga. Mencucinya lalu membuat ruang makan dan dapurnya kembali bersih.

Kakinya berjalan menuju kamar, membuka pintu kaca pemisah antara kamar dan balkon. begitu terbuka Hanin merasakan angin berhembus lembut ke wajahnya. Ia pun duduk di kursi tunggal berlapis beludru warna merah yang ia tempatkan di sudut balkon.

Matanya memandang lurus pada langit berwarna hitam yang jadi payung dunia kala malam. Tangan kanannya perlahan naik menyentuh dadanya yang terasa sesak.

"Apa kamu juga akan meninggalkan aku seperti Ayah dan Dendra? Apakah kamu juga akan menyalahkanku seperti Ibu?" lirih Hanin berkata seolah Wiga berada di hadapannya.

Hanin memejamkan matanya. Ia berusaha untuk mengembalikan ketenangan yang selama ini tetap ia jaga baik-baik. Ia tak ingin bermanja dengan kegelisahan yang tak menentu. Toh tak ada yang tahu kapan banyaknya rahasia akan terungkap tapi paling tidak Hanin ingin sekali saja mencoba. Mencoba untuk mempertahankan miliknya.

****

Lagi.. 

Jarinya terus menekan tombol pada treadmill monitor  yang mengarah pada bertambahnya kecepatan. Hanin menyesuaikan larinya di atas mesin karena baru kali ini Hanin berlari dengan speed secepat ini. Bukannya merasa kelelahan ia justru terlihat senang dan berkali-kali rasanya ingin tertawa. Menertawakan kekonyolannya.

Semalam akhirnya Hanin jatuh tertidur di balkon kamarnya yang membuatnya kesal karena harus jadi santapan nyamuk semalaman. Dan untuk mengurangi kekesalannya ia memilih berangkat ke Gym pagi-pagi sekali. Kegiatan yang sudah hampir 3 bulan tidak ia lakukan.

Sejak datang ke Gym ia sudah melakukan dua set latihan tapi belum juga ingin menyelesaikan olahraganya. Ia pun melanjutkannya dengan berlari di atas treadmill sampai rasa capek mulai menggerogoti kaki dan pinggangnya.

Jarinya menekan tombol yang membuat laju treadmill melambat. Hanin pun akhirnya turun dan menyelesaikan kegiatan bakar lemak dan emosinya itu.

"Nin?"

Baru Hanin duduk di kursi dan meneguk botol air minumnya saat suara maskulin yang dikenalinya terdengar. Hanin menoleh ke sumber suara dan menemukan Dendra sedang berdiri tak jauh darinya. Pria itu ternyata tak sendirian karena ada istrinya yang kini berusaha memasang senyum pada Hanin.

"Apa kabar, Nin?" pertanyaan itu datang dari Franda.

Hanin bangkit dari duduknya lalu menghampirinya keduanya.

"Baik, kalian apa kabar?"

Franda dan Dendra beradu pandang. Keduanya sedikit dibuat bingung dengan sikap 'welcome' Hanin tampilkan. Mungkin dipikiran mereka Hanin akan kabur jika bertemu keduanya. Jika hal ini terjadi semalam mungkin Hanin akan pergi tanpa membalas sapa. Tapi pagi ini kekuatannya seolah meningkat drastis bahkan sanggup dengan santai menyapa balik mantan kekasih beserta istrinya.

DESPERATE FOR LOVE √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang