That Black Cat From Nekoma

1.9K 192 40
                                    

Selepas latihan klub voli Karasuno, seorang middle blocker dengan rambut sejingga senja dan bola voli di tangan menghampiri seorang pemuda tinggi berambut langit tengah malam yang kala itu tengah membereskan barang-barangnya.

"Kageyama!" laki-laki yang jauh lebih pendek dengan rambut jingga berantakkan tadi berseru, memanggil setter jenius mereka. "Berikan toss-mu padaku!" Bola voli diangsurkan ke hadapan muka si setter bermarga Kageyama. Bola mata Shoyo yang kecokelatan berbinar kecil.

Kageyama Tobio, si setter, hanya meliriknya sebentar sebelum kembali membereskan barang-barangnya. Disampirkannya tas selempangnya ke bahu dan menaikkan resleting jaket hitamnya. 

"Ah, maaf. Hari ini aku tidak bisa." Penolakan dia ujarkan seiring dengan tangannya yang mendorong bola voli itu menjauh darinya dan kembali dalam genggaman Shoyo.

Protes sudah di ujung lidah pemain bernomor punggung 10 itu jika saja seorang pemuda dengan posisi sama yang berambut pirang pendek tidak lebih dari mengutarakan vokalnya, "Kau mau ke tempatnya, huh, King?"

Kali itu, alih-alih menjawab kasar dan menyuruhnya untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan itu, Tobio hanya mengedikkan bahunya dan memandang pemuda tinggi itu datar. "Begitulah."

Tsukishima Kei menarik kurva miring pada bibirnya, "Perlu kutemani?"

Tobio berjalan pergi ke pintu ruang olahraga mereka setelah mengucapkan salam pada senior-senior dan manager klub voli mereka. "Terserahmu sajalah."

Masih dengan senyum miring khasnya di wajah, Kei menyusul pemuda itu dengan langkahnya yang lebar. Tadashi melambai pelan padanya dari balik punggungnya.

Shoyo memandang kepergian dua pemuda tinggi itu dengan heran. Menghampiri Tadashi, dia bertanya, "Hey, Yamaguchi, sejak kapan mereka berdua seakrab itu?"

Tadashi mengangkat bahu sambil menghela napas perlahan. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang berbintik-bintik. "Entahlah. Tapi bukannya itu bagus?"

.

.

"Aku tidak perlu kau untuk mengikuti ke mana pun aku pergi," Tobio memulai konservasi dengan nada penuh penekanan yang menunjukkan tanda tidak suka. "terutama ketika aku pergi menemuinya."

Kei hanya menghela napas pendek, biner mata ambernya tertuju pada jendela besar di sepanjang koridor yang menunjukkan panorama luar sana. Bubungan konstelasi bertabur tinggi menyebar pada angkasa segelap jelaga di atas sana, cahaya redup bintang-bintang itu terefleksikan oleh kolam ikan di taman hijau di bawahnya. Indah, sayang sekali bulan tidak hadir malam itu.

"Oi, kau mendengarkanku atau tidak?" pemuda dengan helai rambut segelap arang kembali berucap kala tak mendapat respon apapun dari pemuda yang dia ajak bicara.

Kei hanya berpaling malas padanya. Amber kuningnya bergulir perlahan pada manik midnight blue yang dimiliki oleh pemuda yang lebih pendek darinya itu. Jari telunjuk dibawanya ke hadapan mulutnya, "Sh! Ini rumah sakit, tidakkah seorang Raja sepertimu mendapatkan ajaran sederhana seperti 'tidak boleh ribut kala di rumah sakit'?"

"Kau..!" Tobio menggeram pelan. Lantas Kei terkekeh pelan, puas akan kekesalan Tobio padanya.

"Apa tadi? Kau tidak butuh aku untuk menemanimu menemuinya? Betapa naifnya dirimu, Tuanku. Perlu kuingatkan padamu siapa yang susah payah menahan tangis saat pertama kali kau mengunjunginya kemarin?"

Tobio mendesah keras. Bertikai dengan pemuda pirang itu tidak akan ada habis-habisnya, membuang-buang waktu saja. Dia melangkahkan kakinya cepat dengan langkah lebar, berniat meninggalkan Kei. Kei memasang headphone putih yang sedari tadi menggantung di lehernya, mengikuti Tobio yang menyusuri kamar demi kamar pada rumah sakit itu dengan cepat.

Kedua entitas itu berjalan dalam diam. Tidak ada lagi dari keduanya yang memulai pembicaraan, keduanya larut dalam aktivitas masing-masing--Kei dengan musik yang mengalun dari headphonenya dan Tobio dengan berbagai pikiran dan konflik dalam batinnya.

Kemudian keduanya berhenti di depan sebuah pintu bercat putih gading dengan palang nomor 407. Itu destinasi mereka sedari awal. Kamar rawat Oikawa Tooru, senior Tobio yang kecelakaan seminggu lalu.

Tobio memandang pintu itu ragu. Padahal baru kemarin hari dia keluar dari kamar itu, baru kemarin terakhir kali dia menarik pintu rumah sakit itu, tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk membuka pintu itu kembali?

Karena kau takut kalau dia akan memandangmu dengan keji seakan deklarasinya tidak membencimu kemarin hanya imajinasimu yang terlalu liar saja.

Di sampingnya, Kei memandang pucuk rambut Tobio yang tengah menunduk datar. Dia menghela napas, butuh waktu berapa lama lagi mereka diam di depan pintu itu?

"Kalau kau tidak mau membuka pintunya, biar aku saja yang buka," Kei angkat bicara--nada suaranya terdengar tidak sabaran--ketika nyaris tiga menit mereka berdiri di sana tanpa melakukan apapun.

Tobio menghentikan gerakan lengan Kei yang sudah meraih daun pintu. Lelaki itu memutar biner ambernya dalam rongga mata dan menarik kembali lengan tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celana dengan gerutuan yang mengikuti.

"Kalau kau tidak mau aku yang buka, bisa kau buka sendiri pintu itu, Yang Mulia? Aku tidak punya waktu sepanjang malam menemanimu di depan pintu ini, Tuan."

Tobio menghiraukan gerutuan Kei. Dia menatap middle blocker itu dengan kesal, tidak ada yang memintamu untuk datang.

Melihat pandangan Tobio padanya, Kei hanya mengangkat bahunya, berucap lirih sembari menghela napas, "Terserahlah."

Memandang lagi pintu putih gading itu, Tobio menutup mata. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Dalam hati memberi sugesti pada diri untuk berhenti menjadi seorang pengecut yang hanya dapat selalu melarikan diri.

Lengannya terangkat, memegang ganggang besi pintu itu, dingin. Manik biru gelapnya terbuka, memperlihatkan intensinya yang kokoh. Di sampingnya, Kei tersenyum tipis.

Pintu kamar 407 itu mengayun terbuka, Tobio masuk ke dalam sana, diikuti Kei yang mengekor di belakangnya.

Entitas pertama yang dilihat mereka bukan seorang pemuda tampan dengan rambut secokelat kulit pohoh oak, bukan. Melainkan figur seorang lelaki berambut hitam acak-acakkan dengan poni yang menutupi sebelah matanya. Lelaki itu mengenakan kaos hitam polos, celana training yang juga hitam, dengan jaket jersey merah terikat di pinggangnya. 'Nekoma' tertulis di bagian punggung jaket itu dengan huruf cetak berwarna putih.

"Oh, Tsukki! Lama tidak bertemu!" Pemuda itu menatap mereka dengan manik hazelnut miliknya. Senyum lebar tertera di wajahnya

Tobio memandang pemuda itu dengan heran, diam-diam manik gelapnya mengelilingi  penjuru ruangan, mencari sosok seniornya. Kei mengerutkan alisnya, tampak sedikit tidak senang.

"Kuro-san?"

[Haikyuu!! Fanfiction] (Not) A Lie {KuroOiKageTsukki}Where stories live. Discover now