"Ya ampun, Queen, kau tidak boleh menyukai pria sepertinya. Dia tidak pantas mendapatkan gadis baik sepertimu. Dan tunggu--baju siapa yang kau pakai? Itu baju teman brengsekmu itu, kan?"

Entah kenapa, panggilan brengsek untuk Harry yang sering dilontarkan oleh Zayn membuatku marah padanya. Harry memang brengsek, tetapi memanggil seseorang dengan sebutan tersebut secara terus-menerus sangatlah tidak sopan.

"Diamlah, Zayn. Aku sudah besar, aku tahu harus berteman dengan siapa saja dan kau, sebaiknya kau berhenti melarangku seperti itu. Aku lelah, aku ingin tidur. Jangan ganggu aku." Beranjak dari duduk, aku meninggalkan Zayn seorang diri dan setengah berlari menaiki anak tangga.

Dari atas, aku sempat melihat Zayn menggeleng kecil seraya memijat pelipisnya selagi ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia terlihat kelelahan.

Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Seharusnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Zayn karena aku yakin, ia melakukan semua itu demi kebaikanku.

Persetan dengan perasaanku.

**

Keesokan harinya, saat aku sedang bersantai ria karena hari libur yang membosankan di tambah ketidakberadaan Zayn di rumah, Harry tiba-tiba saja datang di siang hari bolong, menculikku dan membawaku pergi ke rumahnya.

Padahal, tadinya Bella dan Calum ingin berkunjung ke rumahku. Mereka berdua terus meneror dengan meninggalkan banyak pesan dan panggilan di ponselku. Mereka berdua meminta penjelasan setelah insiden di Sapphire Magazine.

Alhasil, aku harus kembali menunda keinginan mereka berdua karena perbuatan Harry yang selalu melakukan apapun seenak jidatnya. Itulah Harry.

"Kenapa rumahmu selalu sepi?" Pertanyaan lolos begitu saja dari mulutku. Kini kami berada di ruang tengah, hendak berjalan--entah kemana, aku hanya mengikuti Harry dari belakang. Kepalaku tak henti-hentinya celingak-celinguk memerhatikan setiap detail sudut rumah yang tergolong sangat besar.

"Karena hanya aku yang menempatinya." Jawabnya singkat.

"Bagaimana dengan Mr. Chris dan Gwyneth? Mereka tidak tinggal di sini?"

Harry mengangkat kedua bahunya acuh, "Mereka sibuk." Dan tanpa sadar, ternyata Harry membawaku ke halaman belakang rumahnya. Aku tak tahu kalau ia akan mempunyai taman seindah ini di rumahnya yang kurasa akan memakan banyak waktu dan biaya untuk perawatannya.

Tamannya begitu cantik!

Harry berjalan mendahuluiku dan meletakkan bokongnya di ayunan yang berbentuk sofa besar. Lantas aku mengikutinya. Kami terdiam sejenak, menikmati semilir angin yang menerpa permukaan kulit serta suara gemericik air yang dihasilkan dari air mancur kecil di tengah-tengah halaman.

Aku menyandarkan tubuhku pada badan sofa, memejamkan mata guna merilekskan otot-otot tubuh yang beberapa hari belakangan ini sering menegang. Aku sangat menikmati suasana seperti ini. Asri, tenang, dan damai tanpa ada perdebatan serta teriakan.

"Aku juga sering melakukan hal yang sama sepertimu." Suara Harry cukup mengusik ketenanganku. Aku menoleh, sedikit terkejut karena jarak kami begitu dekat.

"Oh ya? Aku tidak tahu kalau kau menyukai taman seperti ini. Kukira seluruh sudut rumahmu akan berantakan jika ditempati oleh manusia sepertimu." kataku santai.

Aku memandang Harry lekat-lekat yang kini sedang menatap lurus ke depan. Jarak sedekat ini membuatku dapat melihat dengan jelas bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar dagunya. Begitu juga dengan bibir merah muda dan mata hijaunya. Entah kenapa, pemandangan di depanku sekarang jauh lebih menarik di bandingkan taman yang baru saja kukagumi itu. Sial, kenapa ada manusia setampan dirinya.

Empty // HARBARA [Completed]Where stories live. Discover now