"Ris, gue harap lo gak benci gue gara-gara hal waktu itu." Afdah terlihat berjalan mendekat ke arah Riska, namun diabaikan oleh perempuan itu.

Mendengar suara yang tidak asing itu menghampirinya, Riska justru menghindar dengan berjalan semakin cepat ke tengah kursi-kursi di sana, membuat lelaki tadi tidak dapat mengejarnya, karena pertandingan sebentar lagi dimulai, dan ia merupakan salah satu pemain inti.

Setelah duduk di kursi pun Riska masih tetap diam, terpikir ucapan-ucapan lelaki itu saat mereka terakhir berbicara.

Bego, Afdah! Masa sih gue bisa benci selama ini sama lo?!

Riska meremas roknya, ia seketika merasa bersalah juga dengan segala kejadian saat itu. Mungkin memang benar, Afdah sudah berusaha menyatakan perasaannya, hanya saja dirinya sendiri yang tidak pernah menyadari.

Riska melirik ke arah jam di ponselnya, masih ada waktu sekitaran 10 menit sebelum pertandingan dimulai. Ia bergegas turun dari tribune tersebut, tanpa peduli tatapan heran dari kedua temannya.

"Gue ... pergi bentar, ya." Riska segera berlari seusai mengatakan hal tersebut pada teman-temannya.

Tiara dan Wini hanya menatap heran kepergian temannya.

Riska melangkah cepat menuju kantin sekolahnya, tanpa peduli harus menyerempet beberapa orang yang sangat ramai di koridor saat ini.

Ia membeli sebuah air mineral botol, sekaligus sebagai permintaan maaf dan ingin kembali berteman dengan lelaki itu. Ia tersenyum lembut seraya berlari kembali menuju lapangan, melewati koridor tempat aula seni, tanpa menyadari bahwa acara di aula itu sudah berakhir dan di sana sudah sepi.

"WOI! MAINNYA HATI-HATI DONG!"

Perlahan, perempuan itu membuka matanya, menyadari, ada seseorang yang melempar bola itu kembali ke lapangan.

Lelaki itu terlihat mendekat ke arah Riska seraya berkata dengan lembut. "Lo gak apa-apa, kan?"

Lamunan Riska terasa semakin jelas dan seolah membawa perempuan itu menuju ruang khayalnya. Ia terus berjalan mendekati lelaki itu, tanpa menyadari bahwa permainan sudah hampir dimulai.

Sebuah tubrukan keras sontak menyadarkan perempuan itu, yang sekarang sudah jatuh tersungkur di pinggir lapangan. Jelas membuat semua orang sekarang menatap ke arahnya dengan penuh tanya, adapula beberapa orang yang merasa kesal karena menganggap Riska sedang mencari perhatian di kalangan anak basket.

Wini dan Tiara yang melihat hal itu segera turun mendatangi Riska, yang sedang meringis akibat luka di sikunya, satu tangannya masih menggenggam erat botol air mineral tersebut.

Sementara dari sudut lapangan seberang, Afdah refleks melempar asal bola basketnya dan berlari ke arah perempuan itu. Tanpa harus menunggu lama, lelaki itu sudah berlutut di depan Riska sekarang.

"Lo ... gak apa-apa, kan?" Afdah berujar lembut, dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Beberapa orang dan pemain basket lainnya mulai mengerumuni satu titik tersebut. Efek terkejutnya tadi, perempuan itu masih tetap diam. Bahkan botol minumannya masih ia genggam.

"Bawa ke UKS dah."

"Sikunya kayak mau berdarah tuh!"

"Woi! Yang gak ikut pertandingan anter ke UKS."

Orang-orang mulai terlihat sibuk saling berbisik. Namun tatapan khawatir Afdah masih terpaku pada perempuan di depannya.

"Dia shock itu, tadi jatuhnya keras sekali. Coba yang gak ikut tanding antar ke UKS." Seorang guru olahraga mulai memerintahkan seseorang untuk mengantarnya.

Melihat tidak ada yang bergerak, Afdah memilih berdiri dan bersiap mengantar Riska sekarang juga, tanpa peduli pertandingan yang sudah hampir dimulai.

"Gue yang anta---"

"Saya aja yang antar."

Semua pandangan sekarang mengarah ke sumber suara tersebut. Tanpa diperhatikan lebih lama, semuanya pasti sudah mengenal pianis andalan sekolah itu.

Kevin berjalan santai mendekat ke pusat kerumunan di sana. Membuat para penonton jelas terpaku ke arah dua orang yang berdiri di sana.

Di antara yang lainnya, hanya Afdah yang terkekeh melihat sosok itu. "Gue panitia utama di lapangan. Apapun yang terjadi di sini itu urusan gue." Afdah menjeda sejenak kalimatnya, kemudian menatap ke arah Riska. "Termasuk dia."

Kevin tersenyum lembut, ia mendekat perlahan ke arah Afdah, membiarkan tatapannya terkunci tajam ke arah lelaki itu. "Tim basket utama sekolah, kan? Yakin dibiarin antar dia ke UKS kalau sisa lima menit lagi kalian tanding?"

Mendengar hal tersebut, Afdah berdecak kesal menyadarinya, ingin rasanya ia meneriakkan Woi siapa aja dong selain dia!

Mustahil, karena guru olahraga tadi sudah mengisyaratkan Kevin mengantar Riska ke UKS. Jelas membuat Afdah semakin menatap kesal ke arah Kevin yang nyatanya hanya terkekeh pelan di sana.

"Misi, Pak," ucap Kevin, sopan, berpamit pada guru itu. Pastinya membuat Afdah sontak menatap sinis ke arahnya.

🔢🎨🔢

Riska terdiam setelah ia benar-benar duduk di sebuah kursi busa yang cukup nyaman. Perempuan itu menatap heran ke sekelilingnya. Hawa dingin AC yang belum dimatikan, suasana hening, tempat yang sangat luas, tetapi hanya ada dirinya dan Kevin di sana.

Riska baru tersadar, ini aula musik, bukan UKS.

Kevin kembali menghampiri dengan beberapa lembar tisu dan air botol, berlutut di depan Riska, membersihkan luka di sikunya.

"Luka kamu gak parah sebenernya, cuma perlu dibersihin,trus pakai handsaplast, udah." Kevin merekatkan lembut handsaplast yang baru ia buka, ke siku Riska.

Riska masih terdiam. Melihat lelaki itu berlutut di depannya, entah kenapa membuatnya tidak ingin mengalihkan pandangannya.

Kevin memiliki rambut jatuh dengan poninya yang mulai memanjang. Membuat siapapun yang melihatnya pasti ingin mengusap lembut rambut itu agar tidak menutupi sebagian wajahnya.

Seusai memasangkan handsaplast, lelaki itu mengambil sebuah mahkota bunga yang Riska lepas kemarin.

"Kamu itu tamu spesial, berani banget gak datang tadi."

Kevin mengulurkan satu tangannya perlahan, membuat Riska refleks menatap lelaki itu dan terdiam beberapa detik, kemudian ia mulai mengangkat tangannya sendiri, ingin menyambut uluran tangan lelaki itu.

Selang beberapa detik, akhirnya tangan itu saling bergenggaman.

Riska tersenyum lembut, ia beranjak dari kursinya, mengikuti langkah Kevin membawanya ke atas panggung, duduk di sebuah kursi yang telah ia sediakan, tepat di samping kursinya sebagai pianis di sana.

Kevin mempersilakan Riska duduk di sana. Senyum perempuan itu terukir lembut, ia benar-benar senang dengan segala persiapan ini.

Hening beberapa detik.

Kevin terlihat mengembuskan napas pelan. Ia mulai mengangkat tangannya, menekan lembut tuts hitam putih di sana.

Membuat Riska hanya terpaku memperhatikan lincah jemari yang berlari-lari di atas tuts piano itu, menghasilkan musik yang seolah berhasil menyentuh perasaannya, membuatnya sadar akan satu hal.

Ia benar-benar jatuh pada lelaki ini.

Perempuan itu tersenyum senang. Ia merasa lega, akhirnya perasaannya jatuh pada orang yang sepertinya juga menjatuhkan hatinya.

🔢🎨🔢

waahh udah bahagia nihhh, dibuat ending aja kali ya biar jadi happy ending? Biar riska dan kevin bisa idup bahagiaaa selamaanyaaa?

eitsss gak semudah itu wkwk😌 

See you on the next chapterrr 😉

Jangan lupa vote+komen yaa! 😘

Circle Of Time [Completed]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon