1. Kereta Bawah Tanah

456 77 14
                                    

Hujan turun cukup deras di bagian Selatan Dartrover. Anak-anak kecil berlarian dan terkadang menjejakkan kaki mereka keras-keras di atas kubangan air sampai pakaian mereka basah. Samar terdengar suara tawa, teredam air hujan. Bagi mereka hujan adalah pembawa berkah sekaligus wahana bermain yang selalu di tunggu.

Curah hujan di Dartrover terbilang jarang, setidaknya sebulan sekali dan tidak akan berlangsung lebih dari dua jam.

Tepat di bawah jalan utama Dartrover terdapat kereta bawah tanah. Berbanding tebalik dengan kondisi Dartrover yang masih alami, kereta bawah tanah ini memiliki desain futuristik dengan teknologi canggih. Tidak ada satu orangpun yang mengira keberadaan kereta bawah tanah tersebut, termasuk warga Dartrover sendiri.

Satu tahun sekali setiap bulan Desember, kereta tersebut beroperasi membawa anak-anak yatim piatu ke suatu tempat. Termasuk hari ini, Desember ke-83. Kereta itu berangkat tepat pukul lima sore, masing-masing dari anak-anak tersebut tidak tahu akan dibawa kemana dan berapa lama mereka akan meninggalkan rumah. Kebanyakan dari mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

"Namaku Park Jae Hyung, kau bisa memanggilku Jae, tempat asalku Korea Selatan, usiaku sebelas... Namaku Park Jae Hyung, kau bisa memanggilku Jae, tempat asalku Korea Selatan..." Seorang anak laki-laki berambut coklat gelap terus menerus mengatakan kalimat yang sama. Tubuh kurusnya tampak kedinginan bahkan giginya bergeretak, ia duduk di sudut gerbong kereta sambil mendekap lututnya, bingkai kaca matanya bengkok dan lensa kirinya retak. Ini pertama kali baginya meninggalkan negara asalnya, sendirian. Sebenarnya ia tidak sendirian, di dalam gerbong itu terdapat belasan anak seusianya yang terlihat sama menderita. Sebagian besar anak laki-laki, berpenampilan lusuh dan berwajah sedih. Mereka bukan gelandangan, bahkan beberapa dari mereka mengenakan pakaian bermerek yang harganya mencapai ratusan dollar.

Fasilitas di dalam kereta itu juga sebenarnya cukup mewah, terdapat sofa yang empuk, cahaya lampu yang memadai serta berbagai macam makanan dan minuman, dimulai dari makanan ringan hingga makanan berat seperti spaghetti atau nasi. Namun Jae sama sekali tidak berminat untuk menikmatinya, bukan dia tidak lapar, bahkan sejak delapan belas jam keberangkatannya dari Korea menuju stasiun kereta bawah tanah ia belum makan apapun. Nafsu makannya hilang, pikirannya terfokus pada ingatan bagaimana kedua orangtuanya pergi meninggalkannya. Beberapa petugas kereta sudah berusaha membujuknya, namun Jae tidak mengindahkannya, ia hanya menatap kosong petugas-petugas itu dengan mata sembab.

Tiga jam berlalu, tanpa sadar Jae terlelap kelelahan, seseorang bersamanya, seorang anak laki-laki dengan rambut hitam legam, lurus berponi depan. Ia memakaikan jaketnya sebagai selimut ke tubuh Jae. Sudah satu jam anak itu memandangi Jae. Sebenarnya ia ingin menghampiri Jae sejak awal mereka memasuki gerbong kereta, namun Jae terlihat seperti tidak ingin diganggu. Keadaan anak laki-laki itu pun tidak lebih baik, matanya merah, kantung matanya menghitam, ia habis menangis berjam-jam.

Anak laki-laki itu mendekati Jae karena hanya Jae satu-satunya yang mirip dengannya, memiliki postur mungil dan berwajah oriental. Sisanya beragam, beberapa yang lain berkulit hitam berambut ikal, ada pula yang bermata biru dengan hidung mancung dan berambut pirang.

"Saint Killian Station, semuanya ayo bangun! Kita sudah sampai tujuan!" terdengar teriakan salah seorang petugas dari gerbong depan, ia berjalan dari gerbong ke gerbong untuk membangunkan setiap anak yang tertidur.

Anak laki-laki berambut hitam itu menggoncang-goncang pelan tubuh Jae, berusaha membangunkannya sebelum petugas datang.

"Park Jae Hyung, ayo bangun!" bisiknya sambil melihat ke arah gerbong petugas datang.

Jae membuka matanya perlahan, ia menatap ke sekeliling, perasaannya sedikit lebih baik.

"Ayo bangun, kita sudah sampai," kata anak itu lagi, padahal ia sendiri tidak tahu sampai kemana.

"Dimana kita?" untuk pertama kalinya Jae mengatakan hal lain.

"Katanya kita sudah sampai, Saint Killian Station, akupun tidak tahu kita akan kemana," jawab anak itu dengan polosnya. Jae menatap anak itu, bingung. Berusaha mengingat apakah ia mengenali anak ini sebelumnya. Sadar dengan tatapan Jae, anak itu mengulurkan tangannya. "Ah ya, omong-omong, aku Park Sungjin, aku... aku... sudah tidak punya siapapun, karena kau Park Jae Hyung, maksudku, kita sama-sama bermarga Park, kuharap kau mau menjadi saudaraku." Jae menatap tangan Sungjin yang sedari tadi mengulur ke arahnya, ragu-ragu ia meraihnya. Kenangan buruk tentang kepergian orangtuanya kembali terlintas.

"Aku juga tidak punya siapapun..."

***

Detective 6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang