Vingt-quatre

2.6K 690 80
                                    

Terhitung sampai hari ini, udah genap dua minggu gue dan Kak Winwin akhirnya lost contact

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Terhitung sampai hari ini, udah genap dua minggu gue dan Kak Winwin akhirnya lost contact.

Gak sepenuhnya sih emang, gue masih suka liat dia kalau lagi jalan di koridor atau sekadar gak sengaja ketemu di kantin.

Beberapa kali kita bikin kontak mata yang berakhir dengan gue yang mutusin itu duluan.


Gue juga gak tau kenapa gue kayak gini.


Harusnya gue gak perlu marah selama ini kan?

Dua minggu yang sebenernya bisa kita manfaatin untuk ngehabisin waktu sebelum dia lebih fokus lagi ke ujian-ujian akhir malah gue sia-siain gitu aja.


TAPI GIMANA??


Bohong kalau gue bilang gak kecewa sama tindakan Kak Winwin yang seakan-akan ngebela Kak Kintan.

Tapi bohong juga kalau gue bilang gak kangen sama Kak Winwin.


"Kasih gue saran lagi, please." Gue nyatuin kedua telapak tangan gue di depan muka.

Dan Renjun hanya ngeluarin lenguhan halus.


"Kan gue udah bilang, lo chat atau telepon aja sekarang, dia juga bakal seneng."

"Ya, masa gue yang telepon duluan sih?"

"Daripada gak jalan kayak gini, Kar?"


Skakmat.


"Kar,"

"Apa?"

"Kak Winwin beneran sayang sama lo."

Gue muter mata, "iya, lo pernah bilang."

Renjun sendiri langsung senyum.

"Nah, tuh tau. Kenapa lo masih kayak gini sekarang?"


Entah emang cara pikir perempuan dan laki-laki itu beda atau emang gue yang terlalu baperan sedangkan Renjunnya rasionalis, gue gak tau.


Tapi apa yang Renjun bilang tuh banyak benernya, bikin ceming.


Giliran gue yang ngehela napas.


"Gue telepon nih ya, Jun."


Narik napas sebelum mencet nomor Kak Winwin, gue berusaha untuk ngontrol badan sendiri.

Nelepon orangnya aja udah deg-degan banget, gimana kalau ketemu langsung?


"Halo, Kar."


Gue langsung pengen mengambyarkan diri aja.


Sekangen ini ya ternyata?


Rasa yang lo dapetin pas kembali ke rumah yang udah lama lo tinggalin.

Rasa yang lo rasain pas meluk keluarga setelah lama tinggal di luar kota demi masa depan yang lebih baik.


Ngerasa nyaman dan kangen, tapi sedih.


"Oh, halo, Kak." Akhirnya gue menjawab.


"Ng ... kenapa nelepon, Kar?"


Gue ngehela napas lagi.


Suaranya ragu. Agak ngegantung di ujung kalimatnya, beda sama gue yang lebih kedengeran desperate.


"Kak, kita ketemuan sekarang di Serendipity, Senopati ya. Aku otw sekarang."


Setelah itu, gue nutup teleponnya.


Kamar gue yang didatangi penduduk lain ini langsung hening. Suara bacotan gue ataupun wejangan Renjun gak kedenger lagi sampai beberapa menit ke depan.

Karena pas gue udah siap untuk berangkat, Renjun nengok ke arah gue.


"Kar,"

"Kenapa lagi?"

"Sebelum lo pergi, gue mau ngaku."


Gue langsung ngerutin dahi.


Ngaku?


"Ngaku apa?"


Dan muka Renjun berubah tegang.


Ya gue langsung ikutan tegang lah??


"Dulu, sebelum lo kenal Kak Winwin ...," Renjun ngegantungin kalimatnya. "Gue pernah suka sama lo."


BOOM!


6 dan 9 Agustus 1945 pas bom atom meledakan Hiroshima dan Nagasaki.

Detik ini pas bom nuklir meledakan segala hal yang gue punya.


"Lo ... gak lagi bohong kan?" Tanya gue pada akhinya.

"Enggak, gue serius."

Dan gue gak tau harus ekspresi kayak gimana.


Temen gue ....


"Terus lo ketemu Kak Winwin dan deket sama dia," Renjun ngegigit bibir bawahnya. "Jadi ... gue pikir mungkin gue udah bisa ngelepas lo."

"Sumpah, gokil abis?"

"Gue tau Kak Winwin, dia gak akan nyakitin lo, Kar. Kita temenan dan gue gak akan ngelepasin lo ke orang yang salah kan?"


Tapi gue masih speechless.


"Kak Winwin nahan lo karena dia mau ngejaga lo, bukan mau ngelindungin Kak Kintan kayak yang lo pikir."


Gue ngehela napas.


Hidup gue drama banget.





"Mending sekarang lo berangkat, gue anterin."

OnsraWhere stories live. Discover now