Ibu itu kembali mengusap dahinya. Setelah ini, dia pasti harus memperbaiki lagi riasan wajahnya. Ya! Aku tahu bagaimana pria! Itu alasannya aku tidak mau pacaran, apalagi menikah!

Wanita itu sudah mengingatkanku pada Mama. Mungkin Mama semuda ini waktu menikah dulu. Untung Papa rajin, bertanggung jawab, dan sayang keluarga. Kalau bukan karena masalah keuangan, mungkin keluarganya akan baik-baik saja. Tidak adanya uang sudah menghancurkan semuanya.

"Sabar ya, Mbak!" hiburku ... sok tua lagi.

Tiba di pengkolan, Ibu itu melambai sambil tersenyum manis. Sementara aku berbelok ke kiri, dia kembali ke perumahan. Rumahku memang tidak jauh dari kedai kopi, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Yah! bekerja cukup lama di kedai kecil itu membuatku bisa tiba meski sambil tutup mata.

Setengah berlari aku melewati tenda tukang soto, tukang mie ayam, tukang bakso, dan tukang pulsa yang berjejer di samping sekolah lamaku. Beberapa pelajar yang terlambat berlarian masuk melewati gerbang. Mereka pasti harus berurusan dengan guru piket.

Tak terasa aku tersenyum, mengingat masa-masa bersekolah di situ. SMA swasta dengan dinding cokelat muda ini masih sama seperti dulu, begitu juga dengan para penjual makanannya. Beberapa di antara mereka bahkan masih mengenalku, apalagi sejak Irna juga bersekolah di situ.

Langit yang semula mendung mulai menitikkan air. Aku sangat menyukai aroma khas rerumputan basah dan gerimis pagi hari. Ada rasa damai yang membuatku terperangkap di dunia lain, dunia yang penuh dengan kenangan. Baik dulu, hingga sekarang, aroma hujan tetap sama. Begitu juga jalan-jalan di daerah Sunter ini.

Jalan raya sudah cukup ramai. Ini jam sibuk bagi para mama cantik antar anak, alias macan ternak. Entah siap yang membuat singkatan itu, yang jelas Mamak-mamak muda bangga menyandangnya. Sambil mengantarkan anak-anak sekolah, membuat macet jalanan, lalu nongkrong di kafe-kafe untuk sarapan. Selain bergosip dan arisan, mereka juga jualan tas branded KW, jual pakaian, sampai baju dalam.

Ups! Aku sudah terlambat!

Tetesan air hujan yang semula hanya gerimis kecil menjadi semakin besar. Aku berlari sambil menyeberang jalan dan tiba di pertokoan. Beberapa ruko terlihat masih tutup, belum ada tanda-tanda kehidupan. Hanya kedai kopi Bu Waty yang terlalu rajin, jam segini sudah membuka pintunya lebar-lebar.

Huh! Untung baju seragam kami berwarna hitam, sedikit basah tidak akan terlihat jelas. Rambut ikalku sudah setengah kering, aku menggelungnya cepat-cepat.

"Telat lagi, Key!" Vina menyikutku pelan. "Gara-gara Tom and Jerry?"

"He-eh!" aku menanggapinya dengan tersenyum masam. Mau bagaimana lagi? Akhir-akhir ini aku memang sering terlambat karena ulah Mama dan Papa.

Buru-buru kukenakan celemek merah sebelum Bu Waty turun dari lantai dua. Sambil tersenyum, aku melihat Mey dan daftar pesanannya mendekat. Aroma parfumnya yang manis dan segar membuatku langsung memaafkan tampang cemberut gadis itu.

"Key, bule keren itu datang lagi," kata Mey lirih. Meski tangannya yang cekatan sibuk menuliskan pesanan dari meja pertama, matanya melirik ke arah pintu. Seorang pria jangkung berkulit pucat dengan rambut cokelat terang melangkah anggun menuju meja samping. Hidungnya mancung, dengan bibir tipis yang memesona. Matanya yang kehijauan menatap lurus. Wajahnya bersinar dan menyilaukan, seperti sinar mentari keemasan yang baru muncul. Sial! Lagi-lagi dia membuatku salah tingkah. Pipiku pasti memerah.

Meski menunduk, aku tahu pria itu mengeluarkan ipad, lalu sibuk mengetik sesuatu. Sesekali lesung pipitnya muncul saat seseorang menyapanya. Huh! Tebar pesona! Sebentar kemudian, pria itu kembali sibuk dengan ipadnya.

Seperti tersadar, pria itu tiba-tiba menatap lurus ke arahku, membuatku tersentak kaget. Ups! Nyaris saja aku bertingkah bodoh. Segera kuambil pulpen, pura-pura sibuk mencatat sesuatu yang aku sendiri tak tahu.

Stay With The Prince (Completed On Platform KUBACA)Where stories live. Discover now