Bertengkar?

1.4K 122 5
                                    

KRINGGGG


Bel sekolah menyadarkanku dari kilas balik. Dirga masih saja setia duduk disampingku sambil menggenggam tanganku.

Apa dia tidak sadar kalau waktu istirahatnya habis hanya untuk membujukku?

“Kembali ke kursimu. Bel masuk sudah berbunyi.” Ucapku ketus.

Sebenarnya aku tidak tega juga sih mengacuhkannya seperti ini. Apalagi dia terus-terusan membujukku dengan puppy face-nya dan menggenggam tanganku.

Oh, lihatlah Dirga Mahesa Wijaya. Betapa kuatnya pesonamu untuk merobohkan pertahananku.

“Tidak mau. Kau harus berhenti marah dulu.” Ucapnya manja.

“Yakin? habis ini pelajaran bahasa jerman. Frau Jenn bukanlah guru yang baik hati.”

Dirga terdiam. Tampaknya memikirkan perkataanku. Melihat ekspresi wajahnya yang kebingungan membuatku ingin tergelak sekarang juga.

Tidak, tidak.

Aku masih harus jutek untuk saat ini. Setidaknya, Dirga harus tau kalau aku tengah cemburu sekarang.

“Hei, sampai kapan kalian akan berpegangan tangan? ini sudah jam masuk.”

Aku mengalihkan tatapan. Ternyata yang berbicara tadi adalah Juna.

Hm, sudahlah. Tak usah meladeni anak SD seperti dia.

“Aku tau kalian pacaran dan ini hari valentine. Tapi jangan memamerkan kemesraan di depan jomblo-jomblo seperti kami dong.” Ucap Bejo.

Mesra apanya? Dasar tiang listrik.

“Hei, kalau bawa-bawa kata jomblo jangan sertakan aku juga!” Protes Reihan.

Kenapa ketiga laki-laki ini harus berkerumun disini sih? tak bisakah mereka merasakan tatapan buas para perempuan di kelas ini padaku?

Sepertinya aku juga mendapatkan masalah karena akrab dengan keempat pangeran sekolah.

Dunia ini rumit.

“Memangnya kau sudah tidak jomblo lagi?” tanya Bejo penasaran.

“Em, tidak sih. Tapi aku tidak mau disebut jomblo! Terdengar mengenaskan sekali. Sebut saja single,” jawab Reihan, “ngomong-ngomong Ga, kau hebat sekali hari ini. Meja dan lokermu sudah tampak seperti ladang cokelat. Aku saja tidak dapat cokelat sebanyak ini. Apa rahasianya bisa jadi populer?”

Aku mendelikan mata. Dirga sibuk memberi kode pada Reihan dengan tatapan matanya, yang artinya ‘Mengapa-kau-membahas-hal-itu-bodoh’.

“Cepat kembali ke kursi kalian. Frau Jenn sudah di depan pintu.” Usirku dengan nada sedingin mungkin.

Membuat mereka berempat merinding. Dengan terburu-buru mereka segera kembali ke kursi masing-masing. Kulihat Dirga sempat menyikut perut Reihan.

Sepanjang pelajaran bahasa jerman, otakku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.

Pikiranku selalu tertuju pada Dirga. Tak terhitung sudah berapa kali aku melirik kearah tasku yang berisi cokelat untuk Dirga.

Apa kuberikan saja ya? tapi dia kan sudah dapat banyak sekali dari fansnya.

Apa kubuang saja?

Hm. Tapi sayang.

Aku sudah membuatnya susah payah.


Kumakan sendiri? Lucu sekali.

Aku yang membuat. Aku yang memakannya.

Berikan ke Ayah? Tidak buruk.

Baiklah, kuberikan saja pada Ayah nanti malam.

Secarik kertas datang ke hadapanku. Ada tulisan di atasnya.

‘PERHATIKAN PELAJARANNYA!’

Tanpa menebak pun aku sudah tau kertas dan tulisan itu berasal darimana.

Dengan malas, aku menuliskan balasannya, ‘g. Lg galau.’

Kuberikan kertasnya pada orang disebelahku, Irene. Tidak sampai lima detik, kertasnya sudah berada di atas buku milikku.

‘Galau knp?’

Mataku melirik Frau Jenn yang masih asyik menulis serentet kalimat berbahasa jerman yang sama sekali tidak kumengerti di papan tulis.

Sepertinya aman-aman saja jika aku mencurahkan perasaanku di atas kertas ini.

Tanganku bergerak menulis curhatan sambil sesekali melirik Frau Jenn, takut ketahuan tidak memperhatikan pelajarannya. Bisa-bisa aku diusir dari kelas.

Setelah selesai, aku memberikan kertas tadi pada Irene sambil berbisik jangan sampai ketahuan. Irene mengangguk mengerti. Ia menyelipkan kertas diatas buku bahasa jerman.

Bagus sekali, ia sekarang nampak seperti seorang siswi pintar yang sedang membaca buku.

Padahal sih sebenarnya sedang membaca curhatanku.


Dua menit kemudian Irene melipat-lipat kertas curhatanku dan memasukkannya kedalam saku rok sekolah.

“Sudah?” bisikku pelan.

Irene mengangguk.

Huh? begitu saja?

Ia tidak membalasnya lagi?

Aku menyikut lengannya, “Tidak dibalas lagi?”

Ia balas berbisik, “Loh, kamu kan tidak minta saran apapun dariku. Untuk apa kubalas lagi?”

Aku menatap Irene. Tercengang.

Ck, sahabat sialan seperti dia seharusnya dimusnahkan.

Ayolah, seharusnya saat seseorang sedang curhat, maka orang yang mendengarkan setidaknya memberikan saran apa yang harus dilakukan.

Irene membuat moodku tambah buruk saja.

Akhirnya jam sekolah pun habis. Aku membereskan buku yang ada di atas meja.

Aku mau cepat-cepat pulang.

Tidak selera untuk melihat Dirga.

Baru saja menyampirkan tas, seseorang menahan lenganku.



.
.
.
.

Oke, sepertinya ini udah jadi kebiasaanku buat posting kelanjutannya lama XD walaupun ceritanya jelek dan garing tapi aku seneng ada yang mau baca:") setidaknya aku bakal posting sampe ceritanya tamat. Jangan lupa vote dan comment ya~~

Hujan Cokelat Dari DirgaWhere stories live. Discover now