satu

163K 13.2K 1.7K
                                    

"Masih ngga mau coba nyapa dia?"

Aga melirik Andrew sekilas, lalu menggeleng. Membuat teman se-band nya itu menghela nafas lelah.

"Kalo lo gini mulu, mana bisa Gio ngeliat lo." Ujarnya kesal. Aga tak membalas. Ia lebih memilih untuk menulikan kedua telinganya dengan earphone putih yang selalu ia bawa. Tanpa memutar musik sebenarnya. Membuat Andrew menggerutu.

Sepasang manik hitam milik Aga menatap ke arah tengah lapangan basket yang sedang digunakan untuk latihan. Fokusnya tertuju pada seorang pemuda tinggi berkulit kuning langsat dengan manik jatinya yang tajam. Gio.

Seberapapun inginnya dia untuk mengajak pemuda itu berbicara atau hanya sekedar saling sapa, ia tetap tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Tidak mengajaknya bicara saja, dia sudah jatuh cinta berkali-kali. Apalagi, jika mereka saling berbincang satu sama lain. Mungkin dia akan tenggelam. Tenggelam karena perasaannya yang terus meluber dengan tidak tau dirinya.

"Cemen lo ah!"

Dan Aga tetap mengabaikan perkataan Andrew. Mereka berdua tetap menatap ke tengah lapangan. Latihan selesai. Aga menghela nafas.

"Makanya lo musti tegur dia!" Ujar Andrew lagi, "Biar lo ngga galau mulu kalo latihan selesai."

Kedua alis Aga menukik kesal.

"Berisik!" Geramnya.

Oh ayolah, dia bukan gadis ababil yang suka galau-galauan. Biarpun yang tengah dia alami ini adalah cinta diam-diam, tapi dia ngga bakalan galau ngga jelas tiap saat.

Andrew menarik paksa earphone nya. Membuat Aga mendelik tajam.

"Gue tau lo lagi nggak dengerin apa-apa." Ujar Andrew kesal. Aga berdecih. Ngga penting banget sih, pikirnya. Lalu, tatapan matanya kembali ke sang pujaan hati.

Dan dia terdiam.

Begitu pula dengan Andrew yang kini menatapnya kasihan. Permasalahan yang biasanya dijumpai oleh orang-orang yang jatuh cinta diam-diam.

Sang pujaan hati memiliki pacar.

Sial.

Aga nggak ngalihin tatapannya sama sekali. Manik sehitam malam miliknya menatap lurus ke arah dua orang berbeda gender yang sedang berbisik mesra di tengah lapangan itu.

Membuat jantungnya berdenyut sakit. Tapi dia cukup sadar diri. Gio itu berbeda darinya. Gio itu dilihat banyak orang. Dia normal. Lurus. Straight. Kemungkinan dia bakal belok itu cuma 0.000000001%. Pacarnya juga cantik. Seksi. Nggak ada alasan yang bakal ngebuat Gio belok.

Aga cuma bertepuk sebelah tangan. Dari awal juga dia sadar. Nggak ada kesempatan buat dia. Nggak ada sama sekali.

Tatapannya beralih ke arah gadis yang tengah memeluk lengan Gio manja. Mereka memang tampak sempurna. Dilihat dari sisi manapun.

Ah.. brengsek.

Entah kenapa dia ingin sekali mengutuk gadis tidak bersalah itu.

"Ga." Andrew memanggil. Aga menoleh.

"Jangan galau, Ga." Ujarnya.

"Babi."

Andrew nyengir. Aga berdiri dari duduknya dan pergi dari sana.

"Eh, lo mau ke mana?!" Tanya Andrew bingung. Biasanya Aga bakalan duduk di sini sampe jam istirahat selesai, atau nggak minimal kalo ada latihan basket, dia baru pergi kalo si Gio udah nggak ada.

"Pergi. Panas gue kalo di sana lama-lama."

Dengan segera Andrew beranjak dari duduknya dan menyusul Aga. Sayangnya, dia nggak bisa denger suara retakan dari hati Aga yang patah lagi. Kalo aja dia denger, pasti dia bakalan ngehibur Aga dengan caranya sendiri seperti biasa.

Wajah Aga yang selalu datar dan tenang itu benar-benar ngebuat dia nggak bisa dibaca.

"Lo sakit hati?" Tanya Andrew.

"Nggak. Biasa aja." Bohong.

"Berarti perasaan lo udah biasa aja dong ke Gio?"

"Nggak. Gue masih cinta."

Andrew merengut. Bukannya dia ngga setuju Aga jatuh cinta ke Gio. Dia setuju setuju aja gitu. Ini kehidupan Aga, jadi Aga bebas menentukan pilihannya. Cuma, yang ngebuat dia jengkel itu, Aga nggak mau bertindak sama sekali.

Oke, kalo dia ngga mau pedekate. Andrew ngerti. Ya tapi kan seenggaknya coba-coba negur atau nyapa si Gio kek. Atau apa gitu. Biar si Gio ngeliat Aga. Biar Gio tau Aga itu ada. Tapi, Aga nggak mau. Dia bilang dia bisa berharap lebih kalo itu terjadi.

Oke, kalo alasannya itu, Andrew -sekali lagi- ngerti. Tapi kan, kalo udah tau si doi lurus terus Aganya sendiri ngga mau mencoba masuk ke kehidupannya doi, bukannya lebih baik kalo Aga nutup hatinya buat doi? Daripada dia tersiksa karena patah hati mulu ngeliat si Gio punya pacar. Gio itu ganteng. Handsome. Kalo dia putus, seminggu kemudian dia udah dapet pacar baru lagi. Dari pada nyiksa diri sendiri kek gitu, mending cari cinta yang lain. Tapi..

'Gue ngga bisa.'

..Aga selalu ngejawab itu setiap kali Andrew menyarankan agar cari orang lain.

Dalam hati, Andrew bertanya-tanya. Mau sampai kapan Aga begini? Sampe mereka lulus? Aga udah jatuh cinta sejak semester awal kelas satu dan sekarang udah masuk ke semester empat. Bentar lagi mereka ujian. Bentar lagi mereka naik kelas. Bentar lagi mereka jadi anak kelas 3. Dan bentar lagi mereka lulus. Masa SMA itu harusnya di lalui dengan hal-hal yang menyenangkan. Bukan patah hati mulu kek Aga.

"Gue muak sama perasaan cinta lo." Ujar Andrew tiba-tiba saat mereka tiba di kelas.

"Gue juga muak sama muka lo." Balas Aga tenang. Andrew merengut lagi.

"Nggak ada yang boleh muak sama muka ganteng gue!"

"Najis. Jijik."

SECRET [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now