BAB 1

9 1 0
                                    


Sub Bab 1

Terjerembab Ke Masa Lalu

Pagi akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Menghamburkan cahaya pada setiap sudut Flames—Negeri dengan sejuta kedamaian—yang riuh. Pedagang-pedagang pagi mengambil tempat di pasar-pasar yang semakin ramai. Berteriak-teriak, menjajakan jualan, atau sekadar menyapa orang-orang yang lalu-lalang. Kota Flames pagi ini begitu ceria. Matahari yang tampak itu, seolah mengembus sinar jutaan neon, menyilaukan, sekaligus menenangkan. Anak-anak, tentu saja, yang paling senang. Wajah-wajah polos itu menyunggingkan senyum dan tawa. Asyik berkejar-kejaran, saling canda. Merentangkan tangan, meniru kepakan sayap burung yang terbang di angkasa, saling mengitari, lalu tergelak kembali.

Dua pemuda tanggung dengan ransel di pundak tampak buru-buru menyisir jalanan dari susunan batu bata berwarna oranye.

"Morer, cepatlah!" Nando yang bertubuh kurus dan bermata gelap menopang pinggang. Memaksa langkah berhenti tepat dua meter di hadapan lelaki yang dipanggilnya Morer.

"Sebentar. Sepatuku, talinya lepas." Morer menarik kedua tali hitam, menghentak sekuat tenaga sebelum akhirnya memilinnya dengan sempurna!

"Astaga!" Nando tak habis pikir dengan dua kunciran berbentuk pita yang terjulur di ujung sepatu sahabatnya. "Lebih cantik ketimbang punya cewek!" ejeknya, lalu terbahak.

Mereka adalah anak-anak panti asuhan Bond yang terletak di Distrik Lusdown, sebelah tenggara pusat kota. Sekolah tingkat menengah yang mereka tuju adalah satu-satunya yang paling dekat dari "rumah" mereka. Itu pun sudah harus menempuh beberapa kilo meter dengan berjalan kaki. Biasanya, keduanya menjadi yang paling pertama tiba, dan yang paling terakhir pulang.

"Aku akan kena hukuman, itu sudah pasti." Nando menghentak sebelah kakinya. Melayangkan tinjunya ke udara.

"Tugasku nggak selesai," sambungnya sambil nyengir kuda. Mukanya berubah kecut. Morer tak menoleh. Telinganya masih berkabut. Fokusnya hanya pada apa yang akan dikatakannya saat presentasi. Kimia bukanlah materi yang mudah baginya.

"Beri aku contekan? Yah?" Nando bersungut manja, membuat Morer mengerenyitkan kening.

"Kalau begitu, tulis namaku di kelompokmu?" Nando masih berharap.

"Tak 'kan!" Morer terkekeh. Sahabatnya itu seharusnya sudah tahu, pembagian kelompok sudah diarsip untuk satu semester ke depan. Hanya kematian yang bisa mengubah daftar nama itu. Hah!

"Pelit!" Nando melempar tinjunya sekali lagi ke udara. Mereka berangkulan memasuki gerbang yang masih lengang.

Sekolah mereka terdiri dari tiga lantai. Ruangan-ruangan dipenuhi jendela-jendela besar sebagai tempat bertukarnya udara. Di sini, senior menempati kelas lantai dua dan tiga. Morer dan Nando menempati kelas pertama di basemen. Tetapi, mereka suka sekali naik ke tingkat paling atas, menghabiskan waktu di sana. Di luar, tampak pepohonan hijau menari-nari ditiup angin. Terlihat juga siswa-siswi yang melintas. Morer memandang lepas, ia tak sabar mengakhiri rutinitas ini sebelum ujian dan liburan panjang menyapa. Ia masih bingung, liburan sepanjang itu harus digunakan untuk apa. Bekerja, atau berdiam diri saja di panti asuhan. Menoleh wajahnya sejenak ke arah Nando yang bersiul-siul menghadap jendela. Nando selalu ceria, tidak terlalu ambil pusing dengan keadaan sekitar. Padahal, mereka berdua adalah anak-anak panti yang paling tua. Telah karatan di sana! Mereka memang bukan yang pertama menjadi anak asuh, tapi yang lebih tua dari mereka sudah mendapatkan pekerjaan bagus dan ikut menyumbang demi panti yang punya lusinan anak lainnya. Morer mendengus pelan. Bagaimanapun, ia tak ingin lebih jauh lagi membebani Ibu Lucy Renmor, ibu asuh mereka. Jadi, pertimbangan untuk bekerja selama liburan, sepertinya harus menjadi kenyataan.

Kelas berjalan seperti biasa. Wajah Nando tampak sumringah. Segar dan ceria. Bayang-bayang hukuman yang bernaung di kepalanya sedari tadi pagi, lenyap begitu saja. Pak Diego tidak masuk karena harus intens menjaga kerabatnya di rumah sakit. Mereka hanya diharuskan membaca buku di perpustakaan sebagai tambahan referensi.

Lonceng sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan, berjubel keluar dari pintu. Hanya Morer dan Nando yang tersisa.

"Kita pulang lebih cepat hari ini, ya!"

Suara Nando tak digubris. Morer sibuk mencatat setiap jengkal tulisan di papan tulis yang masih menggunakan kapur.

"Tahu, nggak? Kita harus benar-benar meninggalkan menggunakan kapur tulis!" Tiba-tiba Morer bersuara.

"Ah, masa bodo!" Nando bertengger di meja guru, dengan ransel di sebelah bahu dan kaki mengetuk-ngetuk lantai. Tak sabaran menunggu.

"Konon, menghirup sisa kapur tulis bisa menyebabkan sakit paru-paru akut. Kamu tahu artinya, tidak?"

Nando membuang muka ke jendela. Sebentar lagi, ia tahu, dijawab atau didiamkan saja, Morer akan tetap berceramah.

"Di tahun 3550 Masehi, sekarang ini, harusnya kita sudah duduk-duduk di rumah saja. Dengan komputer, anak-anak dipantau belajarnya dari rumah-rumah mereka. Tidak perlu datang ke sekolah setiap hari seperti ini. Apalagi menggunakan kapur tulis, mencatat sampai buku penuh."

"Yang mencatat, kan, kamu sendiri, murid paling rajin!" Nando menarik bibir, mencibir.

"Hahaha..." Tawa Morer pecah. Ditutupnya buku tulis secepat kilat, memasukkan ke ransel yang tak ada bedanya baik warna maupun bentuk dengan milik Nando. Tas turun temurun dari leluhur panti asuhan.

"Kemari!" Disilangkannya tangan Morer ke leher Nando, mereka berjalan ke luar kelas.

"Tahun 3550 Masehi, kita sudah punya jam tangan canggih. Tahu, nggak apa itu canggih?"

"Bicaralah terus, aku lapar!"

Morer kembali tertawa. Sampai di gerbang, Morer melepas rangkulannya.

"Jam tangan itu, sebenarnya dibuat untuk fashion saja. Mengenang masa lalu, supaya generasi sekarang tidak melupakan berabad-abad lalu tentang penemuan manusia. Padahal, jam tangan modern, cukup ditanam di bawah kulit. Terhubung ke saraf-saraf otak, mata dan telinga. Kita hanya tinggal berpikir mau tahu tentang waktu atau cuaca, berita dan lain-lainnya. Pokoknya T-O-P B-G-T DEH!"

"Dasar pendongeng!" Nando merutuk kesal. Yang ia tahu, perutnya perih meminta jatah makanan. Yang bisa dibayangkan olehnya sekarang hanyalah makan siang lezat yang disiapkan di panti. Dan, yang tak akan pernah ia pikirkan adalah semua cerita dongeng yang selalu diucapkan Morer. Kecuali satu hal, tentang mereka yang tidak perlu lagi setiap hari ke sekolah karena kecanggihan komputer, kalau ia tak salah sebut. Jadi, dengan leluasa, ia bisa duduk-duduk saja di panti, bermain dengan anak-anak lainnya. Menyenangkan!

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 29, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MORER: To The End Of The Innocent WorldWhere stories live. Discover now