[Kita yang terhenti] - 2

8 0 0
                                    

Part 2

"Kamu pesan apa?"

"Teh tarik dingin satu."

"Itu saja? Kamu engga lapar?"

Dia menggeleng, rambut hitamnya yang sebahu mengayun seirama. Saya berusaha tersenyum di depannya lalu memanggil pelayan untuk memesan. Saya rasa dia tahu, ada yang berbeda hari itu. Matanya yang coklat tua menyimpan rasa ingin tahu, menggugah jawaban dari saya tanpa sepatah kata tanya.

"Pasti ada yang spesial hari ini," ujarnya.

Seharusnya adalah suatu keanehan ketika sepasang manusia yang terikat oleh status harus memiliki alasan terlebih dahulu sebelum bertemu. Tetapi setelah dua minggu tidak berjumpa, wajar jika ia menyimpan tanya. Saya menelan ludah, kata-kata yang saya susun semalam suntuk terhenti di ujung lidah.

"Ini mungkin pertemuan kita yang terakhir."

Matanya masih menggugah saya untuk menjelaskan, walaupun raut bingung menghiasi wajah mungilnya. Saya memutuskan untuk menunggu hingga pesanan kami diantarkan ke meja.

"Terima kasih untuk semuanya. Saya adalah pria paling bahagia di dunia ketika kamu menerima saya hari itu, seterusnya hingga hari ini. Kamu menerima segala kekurangan saya dan saya mencintaimu atas segala yang menyusun dirimu," saya memulai jawaban dengan rasa syukur atas dirinya.

Senyumnya mengembang lebih lebar dari biasanya. Entah kenapa semesta membimbing jemarinya untuk menggenggam jemari saya, menguatkan saya untuk melanjutkan.

"Namun kamu berhak untuk bahagia, wanita sepertimu tak seharusnya terjebak dalam cinta yang membuatmu menderita. Saya tidak ingin mengekangmu. Maaf, selama ini saya hanya memikirkan kebahagiaan saya tanpa sadar kamu tidak merasakan hal yang sama. Kamu berhak untuk memilih pergi, namun ketahuilah bahwa saya akan senantiasa di sini jika kamu memilih kembali."

Tangisnya dimulai oleh air mata yang diam-diam mengalir, dilanjutkan oleh isakan lembut memecah keheningan di antara kami berdua. Saya beringsut ke sisinya dan mendekap wajahnya, merekam bagaimana punggungnya bergetar oleh tangis dan hangat tangannya melingkari pinggang saya. Dengan lembut kuusap punggungnya agar tangisnya reda, namun air mata itu malah makin menjadi-jadi. Ada rasa sedih, haru, lega, dan bahagia yang bersirkulasi dalam dekapan.

Tidak ada kata mengapa setelah peluk itu, ia tahu bahwa saya tahu perasaannya. Matanya masih lembab saat tatapannya berhenti di mata saya, seolah menemukan orang yang sama sekali baru. Kita tak lagi menjadi asing, namun kelak tak ada lagi kata "kita" untuk menggambarkan saya dan dia.

(Peluknya hari itu menjadi memori terakhir yang menandai ujung kisah kami.)

— 4L5H1N

Pujangga kuWhere stories live. Discover now