[Kita yang terhenti] - 1

8 0 0
                                    

Part 1

"Kalau kamu masih mencintainya," tanyaku, "mengapa kamu memutuskan untuk berhenti?"

Pria dengan rambut ikal yang hampir selalu tersisir rapi dengan gel kini dibiarkan mengembang seadanya. Dia tidak memilih kemeja flanel yang biasa ia pakai sehari-hari, hanya mengenakan hoodie hitam polos dan jins. Tidak ada bekas sembab di matanya, namun kantung mata itu menjadi saksi malamnya yang tidak ditemani mimpi. Matanya adalah mata orang yang patah hati, namun entah kenapa bibirnya menyunggingkan senyum. Dia pun memulai jawabannya.

"Pada satu titik, yang saya kira nyata ternyata hanya fatamorgana. Obrolan kami semakin hambar. Setiap bertemu hanya ditemani denting piring dan kecanggungan. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya menjerit tersiksa. Ia tidak pernah mengatakan apa-apa, sungguh. Tidak meminta putus, tidak marah sekalipun, tidak ada tangis sama sekali. Tetapi saya tahu perasaannya, dan saya tidak tega;

Bagaimana mungkin saya sanggup membiarkannya menderita? Cinta saya terlalu besar untuk mendengar ego yang ingin tetap menahannya. Saya pun membuat keputusan sulit untuk melepasnya. Semalam suntuk saya tidak tidur, hanya untuk merangkai kata yang bisa melepas kepergiannya dengan cara paling indah;

Maka saya mengajaknya bertemu. Untuk pertama kali setelah berbulan-bulan, denting piring dan basa-basi bukan suara satu-satunya yang menemani kami. Tangisnya pecah. Dia tidak pernah menangis di depanku sebelumnya. Tetapi pelukannya saat itu adalah pelukan paling erat yang pernah ia beri."

Ia belum juga menjawab pertanyaanku. Masih kutunggu lidahnya untuk berkata-kata setelah matanya terpejam sejenak, merekam pelukan terakhir darinya.

"Kalau kamu bertanya apa yang membuat saya berhenti... Saya rasa memberinya kebebasan adalah cara paling indah untuk mencintai seseorang. Saya tidak akan pernah benar-benar berhenti mencintainya."

(Berhenti mencintaimu adalah suatu kemustahilan.)

— 4L5H1N

Pujangga kuWhere stories live. Discover now