01: Manusia Super

5.4K 564 58
                                    

Baru saja aku pulang dari restoran. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Aku berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum. Kalau berjalan kaki, butuh waktu satu jam. Kalau aku tidak kelelahan hari ini, mungkin aku memilih untuk jalan kaki. Aku ingin cepat-cepat sampai kos. Aku ingin mandi dan tidur.

Aku turun dari angkutan umum, lalu menyeberang jalan raya besar dengan menggunakan jembatan penyeberangan. Tidak ada siapapun di sana kecuali aku. Penerangan minim dan sepi, seakan-akan akan ada yang datang untuk mencuri barang-barangku. Tapi, barang apa yang bisa dicuri dariku? Dompetku kosong, dan aku hanya menyimpan uang 5000 rupiah di saku celanaku, cukup untuk membeli sarapan roti dan susu besok.

Aku berada di tengah-tengah jembatan penyeberangan ini. Aku melihat sesuatu yang bercahaya merah terang datang dari sisi kiri, dan perlahan-lahan terasa panas. Aku berhenti dan menoleh. Aku pikir itu meteor, tapi ternyata bukan. Waktu mungkin terasa berjalan lambat di sekitarku. Itu sebuah mobil yang terbakar.

Aku hampir tidak bisa berpikir apa-apa. Aku melompat ke depan dan berguling. Mobil itu menabrak dan membelah jembatan penyeberangan ini. Aku tidak sepenuhnya bisa menghindar. Kedua tanganku berpegangan pada tepian jalan jembatan, sementara tubuhku menggantung. Mobil itu meledak di bawah kakiku, terasa sangat panas. Tapi, aku bersyukur aku tidak terluka.

Tubuhku cukup terlatih secara fisik. Aku mengangkat tubuhku tanpa kesulitan. Aku bergegas menjauh dari tepian, tapi tetap saja itu mengejutkan dan membuat lututku lemas. Aku jatuh duduk dengan lemas, menghadap lubang dengan dasar bercahaya merah yang seakan-akan adalah jurang kematian. Benar-benar mengejutkan.

Saat aku sedang melamun, seseorang datang melewati belahan jembatan itu. Dia terbang dengan amat santai dan lembut, melayang di atas jurang kematian itu. Dari tubuhnya, dia sepertinya seorang lelaki. Rambutnya yang berantakan itu bergerak-gerak lembut oleh angin di sekitarnya. Lalu, kulihat dia mengenakan topeng.

Siapa? Kenapa pakai topeng? Bagaimana di bisa terbang dan melayang di sana? Apakah dia Manusia Super?

Aku bisa melihat dengan jelas. Lelaki bertopeng itu menolehkan kepala dan nenatapku. Memang ada kesan menekan, tapi aku tidak merasa takut. Lelaki bertopeng itu bergerak mendekat, lalu mendarat di atas jembatan. Dia berjalan dengan langkah santai dengan kedua tangan disakukan ke dalam jaketnya. Dia berdiri di hadapanku, menatapku dengan kepala menunduk. Entah kenapa aku merasa direndahkan olehnya.

"Apa kamu terluka?" tanyanya.

"Eh?" Aku terkejut mendengarnya bicara. Aku pikir dia orang jahat yang menyebabkan masalah ini. "A-Aku tidak apa-apa. Um..." Aku menatap jauh ke dalam matanya yang samar-samar terlihat dari lubang topengnya.

"Oh, bagus kalau tidak apa-apa. Sekarang, pergi dari sini dan lupakan semua yang kamu lihat." Dia membalikkan badan dan berjalan pergi. Sampai di tepi, dia melompat turun begitu saja.

Apa-apaan, sih? Dingin sekali. Sama sekali tidak bertanggung jawab. Bantu berdiri, kek! Atau setidaknya minta maaf, kek!

Aku berdiri sambil berpegangan pada pagar jembatan. Aku mendapatkan kembali kekuatan dan kesadaranku. Aku turun dari jembatan itu secepat mungkin. Lelaki bertopeng itu sedang berdiri di tengah jalan, berhadapan dengan seseorang yang tampak kesulitan berdiri. Tidak ada siapapun di sekitar mereka. Tidak ada kendaraan lain. Mungkin karena ini sudah terlalu larut di hari kerja. Atau, mungkin memang ini sebuah takdir.

Ada percakapan di sana, entah apa. Tapi, tidak lama. Tahu-tahu, mereka berdua bertarung dengan cara yang unik. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka. Lelaki bertopeng itu menggunakan serpihan mobil dan jembatan untuk menyerang, sementara orang yang satunya - mungkin laki-laki - menggunakan api dari sisa-sisa ledakan mobil.

Ini jelas mustahil untuk dilupakan.

***

Aku melihat Kak Charles sedang berjalan dari arah ruang guru menuju tangga. Aku menghampirinya dengan berlari. "Kak!" panggilku. "Kak Charles, tunggu!"

Dia berhenti tepat sebelum tangga, lalu dia membalikkan badan dan menungguku sampai di dekatnya. Aku menatap jam tangan, masih ada waktu 15 menit. "Kak, aku mau bicara sebentar dengan Kakak."

Dia tidak segera menanggapi. "Kalau kamu mau menembakku, lupakan saja." Dia membalikkan badan, hendak pergi.

"Tunggu!" Aku menarik tangannya dan menghentak tubuhnya untuk berbalik. "Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menembak Kakak. Ini tentang kejadian semalam."

Dia menatapku dengan dingin. Mata itu beralih ke tanganku yang masih menggenggam tangannya. Secepatnya aku sadar. Aku melepaskan tangannya. "Apa maksudmu?"

"Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu semuanya," kataku. "Aku ingin Kakak membantuku agar bisa menjadi seperti Kakak."

"Aku tidak mengerti ucapanmu -"

"Aku sama seperti Kakak," timpalku. "Aku tahu Kakak adalah lelaki bertopeng itu. Aku tahu bakat khusus yang Kakak punya. Aku tahu dengan bakat khusus milikku." Aku menatapnya lekat-lekat.

Dia tetap bersikap dingin, tapi aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Dia terkejut.

"Pekerjaan Kakak itu dapat uang banyak, 'kan? Bagaimana cara bekerja di sana? Apa aku bisa melamar di sana?"

Dia membalas tatapanku. "Kenapa kamu tidak mencaritahu sendiri dengan bakatmu?"

Aku menggeleng. "Aku punya batasan."

"Kamu berbohong."

Aku berdecak kesal. "Oke. Biar aku buktikan." Aku menarik napas dan membuangnya, lalu menatap matanya. "Muhammad Charles Fajaruddin. Lahir di Yogyakarta, 4 April 19xx. Anak ketiga dari tiga bersaudara. Nama ayah Briantoro Fajaruddin, nama ibu Diana Latiefah."

"Semua orang di sekolah ini bisa tahu itu," timpalnya dengan dingin.

Aku berdecak lagi. "Oke. Bagaimana kalau aku bilang Kakak menyukai teman masa kecil Kakak, Jasmine Widiastutik dari kelas 11 IPS?" Aku menyengir.

Ekspresi wajahnya terlihat menakutkan. Meski dia bersikap dingin, aku tahu dia sedikit cemas. Dia melirik ke kanan-kiri, membuktikan bahwa tidak ada orang yang mendengar ucapanku barusan.

"Kenapa juga harus hal itu? Seharusnya kamu cari tahu langsung tentang pekerjaanku?" ucapnya dengan sedikit ketus.

Aku menggeleng. "Maaf saja, tapi tadi itu aku tidak menggunakan kekuatanku." Dia terlihat terkejut. "Aku tahu hanya dari sikap Kakak dan ekspresi Kakak ketika berhadapan dengan Kak Jasmine."

Wajahnya terlihat amat menakutkan. Sepertinya, aku sudah membuat lelaki paling dingin dan kejam se-sekolah ini marah.

"Aku sudah bilang, aku punya batasan. Aku sudah menggunakannya seminggu terakhir."

Dia menatapku dengan kesal.

"Jangan berwajah seram begitu, dong. Aku punya niat baik, nih," ungkapku. "Aku tahu Kakak waspada, tapi percayalah padaku. Kalau aku punya niat buruk, aku tidak perlu terang-terangan seperti ini. Ah, tapi Kakak harusnya percaya padaku. Menurut Kakak, bagaimana aku bisa mengetahui identitas lelaki bertopeng itu? Memangnya, aku hanya asal menghampiri orang?"

Dia terdiam. Aku tahu dia mengakui ucapanku benar. "Ya, itu terdengar masuk akal," akunya. "Datanglah ke Gedung Garuda di Kuningan. Kamu akan tahu semua informasi di sana."

Bel berbunyi dengan nyaring.

"Terima kasih, Kak." Aku membungkuk. "Kalau begitu, sampai nanti." Aku membalikkan badan dan berlari menuju kelas.


Part 1 niiih...
Agak bingung juga sebenernya, mau dimulai dgn apa. Tapi, ya beginilah..
Hehe.. 😅

Jangan lupa voment. Thanks 😄

Garuda Emas Indonesia (GEMS) [COMPLETED] (Wattys2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang