Awal

11.8K 788 90
                                    

Ayah yang bodoh itu pergi begitu saja, tidak memberitahu, tidak juga meninggalkan pesan. Hanya hutang yang ditinggalkannya, dan membuat Ibu kesusahan.

Kami bukan dari keluarga kaya, kami juga bukan dari keluarga sederhana yang hidup serba kecukupan. Tidak. Aku rasa, sebenarnya kami adalah keluarga sederhana yang serba kecukupan. Tapi, si Ayah bodoh itu menghabiskan uang untuk berjudi, minum-minuman keras, dan sama sekali tidak punya pekerjaan tetap. Selama ini, kami hidup bergantung pada penghasilan Ibu sebagai bidan.

Ayah pergi begitu saja saat aku berumur 10 tahun. Tepat sehari setelah kami sadar bahwa dia tidak akan pulang, dua orang rentenir datang dan menagih hutang Ayah yang amat besar. Kami terpaksa menjual rumah dan tanah kami, itupun belum cukup untuk menutupi hutang dan bunga yang terus bertambah setiap bulannya. Kami terpaksa pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil. Semenjak itu, hidup kami amat sangat tidak tenang. Rentenir selalu bertamu setiap sore. Mereka bahkan lebih menakutkan dari preman pasar.

Ibu bekerja sebagai bidan di puskesmas tak jauh dari rumah baru kami. Tapi, bukan hanya itu, ia bahkan mencari uang tambahan sebagai buruh cuci. Ia benar-benar bekerja keras agar kami bisa hidup dengan layak, juga agar aku bisa terus melanjutkan sekolah, meski aku sekolah bergantung pada beasiswa.

Aku tidak membiarkan Ibu bekerja sendiri. Pagi-pagi sekali, aku bangun untuk mengantarkan koran ke rumah-rumah. Setelah itu, aku pulang untuk mandi dan sarapan, kemudian pergi sekolah sampai sore. Pulang sekolah, aku membantu Ibu untuk mengantarkan cucian orang-orang dengan sepeda yang kudapatkan dari hasil memenangkan perlombaan ini-itu. Sebisa mungkin, aku tidak ingin Ibu mengeluarkan uang untukku lebih dari yang sudah ia berikan.

Bertahun-tahun kami hidup seperti ini. Rentenir itu terus datang, hutang Ayah sama sekali tidak bisa dilunaskan karena bunga yang terus bertambah. Kami juga tidak bisa lapor polisi karena masalah itu tidak bisa diselesaikan, karena sudah ada perjanjian hitam di atas putih atas nama Ayah. Setidaknya, saat ini kami bisa bertahan hidup dengan serba kecukupan.

Saat aku sedang di sekolah, di tengah-tengah pelajaran Matematika oleh Pak Budiman, seorang guru piket datang ke kelas, ia Bu Hestina. Ia berbisik pada Pak Budiman, lalu aku sadar mereka tengah menatapku dengan ekspresi yang membuatku merasa cemas. "Alice, bisa ikut Ibu? Sekalian rapikan barang-barangmu dan bawa tasmu."

Pikiranku langsung terpaku pada Ibu. Cepat-cepat aku merapikan semua barangku, memasukkannya tanpa pikir panjang ke dalam tasku. Bahkan, aku belum menutup tasku sepenuhnya saat berjalan menuju Bu Hestina. Dia merangkulku, lalu mendorongku untuk keluar kelas. Tangannya yang memegang lenganku itu terasa kuat, seakan-akan dia berusaha untuk menguatkanku.

"Ibu akan mengantarmu pulang. Nanti, guru-guru juga akan datang untuk menemanimu dan membantumu."

"Apa yang terjadi pada ibuku?" tanyaku, berusaha untuk tetap bersikap dingin.

Ekspresi Bu Hestina jelas menyiratkan sesuatu yang menyedihkan. "Ibumu kecelakaan. Sudah dibawa ke rumah sakit, tapi terlambat. Saat ini, ibumu masih di rumah sakit. Kamu pulang bersama Ibu, nanti guru-guru yang mengantar ibumu ke rumah. Ibu turut berduka cita." Matanya berkaca-kaca.

Mengejutkan. Sangat. Tapi, aku terbiasa bersikap tegar semenjak Ayah bodoh itu meninggalkan kami. Sekarang, aku bahkan sudah lupa cara menangis.

"Terima kasih, Bu. Tapi, saya ke rumah sakit saja. Ibu tahu rumah sakitnya?" tanyaku.

"Biar Ibu antarkan."

Ibu meninggal karena kasus tabrak lari. Kepalanya terbentur keras pada aspal. Beberapa tulang rusuknya patah, dan terjadi perdarahan dalam karena limpa yang pecah. Sebisa mungkin aku tetap berpikir rasional, tidak terbawa emosi. Meski, hal tersebut sulit sekali untuk dilakukan.

Banyak bantuan yang kuterima dari tetangga, guru-guru, dan teman-teman. Aku sebenarnya malu dan sungkan, tapi aku tidak bisa menolaknya. Berkat mereka, aku bisa tetap melanjutkan sekolah dan menyelesaikan pendidikan SMP-ku. Setelah itu, aku memutuskan untuk pindah dengan tetap dikejar-kejar oleh rentenir.

Semenjak itu, aku berusaha mencari kos-kosan murah dekat sekolah. Aku mengumpulkan uang dengan berbagai kerja serabutan, hingga akhirnya aku mendapatkan pekerjaan tetap di restoran keluarga milik tetangga. Pagi aku tetap bekerja sebagai tukang koran, dan pulang sekolah aku bekerja di restoran dengan gaji mingguan. Setidaknya, semua itu cukup untuk membiayai kehidupanku. Urusan sekolah, aku tidak begitu pusing memikirkannya. Aku mendapatkan beasiswa penuh di SMA Nusantara, SMA swasta elite di Jakarta.

Sekarang, aku sudah menjalani kehidupan sendiri seperti ini selama dua bulan. Sejauh ini, semua baik-baik saja dan aku menikmatinya demi Ibu.


Ini masih awal aja, jadi gak gitu banyak percakapannya. Hehe...

Btw, ini cerita ketigaku. Semoga bisa selesai dengan konsep yang udah aku buat. Semoga aku bisa menulis satu bagian perminggunya.

Ditunggu voment-nya... thanks 😊

Garuda Emas Indonesia (GEMS) [COMPLETED] (Wattys2020)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang